Perahu Kertas (01) Jalan yang Berputar


Jalan yang Berputar

Amsterdam, Juni 1999 ...

Tidak ada alasan untuk meninggalkan Amsterdam pada musim panas. Inilah masa terbaik untuk bersepeda di sekitar Leidseplein dan Dam Square sambil menikmati sinar matahari yang merupakan surga tahunan bagi warga kota. Ia masih ingin duduk di pinggir pantai Blomendahl berbekal kanvas dan alat lukis, atau menikmati koffie verkeerd (Kopi susu atau café latte) di salah satu kafe di 9 Straatjes dari pagi hingga sore bersama buku sketsanya.

Sambil mengosongkan baris terakhir bukunya dari rak yang bergantung di samping tempat tidur, pertanyaan yang sama seminggu terakhir ini berulang dalam kepalanya: umurku baru jalan delapan belas, tapi kenapa aku merasa terlalu lelah untuk semua ini?

Pintu di balik punggungnya berderit pelan.

Nee (tidak), Alvin. Jangan bebani kopermu dengan buku. Biar Oma yang kirim semua bukumu ke Jakarta.”

Alvin tersenyum tipis, urung membereskan buku-buku tadi. Hatinya terusik. Oma mengatakan itu seolah-olah ia tak akan pernah kembali ke rumah ini.

Alvin tahu saat ini akan hadir tak terelakkan. Hanya keajaiban yang bisa membatalkannya kembali ke Indonesia. Bertahun-tahun, Alvin berharap dan berdoa keajaiban itu akan datang. Keajaiban tak datang-datang. Hanya sesekali telepon dari Mama yang memuji sketsa-sketsa yang ia kirim, tanpa ucapan tambahan yang menyiratkan kalau ia bisa terus tinggal di Amsterdam, menemani Oma yang berjuang agar tidak digusur ke panti jompo karena dianggap terlalu tua untuk hidup sendiri, melukis di salah satu bangku di Vondelpark, tumbuh besar menjadi seniman-seniman yang ia kagumi dan banyak berseliweran di kota ini.

Keajaiban yang dimiliki Alvin punya tanggal kedaluwarsa. Cukup enam tahun saja. Orangtuanya bertengkar hebat seminggu sebelum akhirnya memutuskan bahwa ia, anak pertama mereka, dilepas ke negeri orang. Padahal Alvin tidak merasa di negeri orang. Bukankah di kota ini mamanya dilahirkan dan menjadi pelukis, sampai akhirnya pergi ke Indonesia dan berhenti menjadi pelukis? Alvin tidak tahu persis apa yang terjadi. Bagaimana mungkin orangtuanya, sumber dari bakat melukis yang mengalir dalam darahnya, justru ingin memadamkan apa yang mereka wariskan?

Papa khawatir Amsterdam akan menghidupkan seorang seniman dalam diri anaknya. Kenapa Papa takut? Alvin dulu bertanya. Karena otakmu terlalu pintar untuk cuma jadi pelukis, jawab ayahnya. Alvin pun bertanya-tanya, haruskah dia mulai menyabotase nilai-nilainya sendiri di sekolah agar papanya keliru? Tapi, untungnya, sebelum itu terjadi, Papa dan Mama sepakat. Dia diizinkan bersekolah di Amsterdam untuk enam tahun. Hanya enam tahun.

Dua ribu lebih hari berlalu dan Alvin merasa enam tahun sesingkat kedipan mata.

“Mungkin ini saja yang sebaiknya kamu bawa, vent (panggilan untuk anak laki-laki),” Oma menyerahkan dua buah buku bertuliskan 2500 Latihan Soal UMPTN, “supaya jij (kamu) bisa belajar di pesawat.”

Ja (ya)Oma.” Alvin menyambut dua buku tebal itu dan berencana untuk meninggalkannya di kolong tempat tidur begitu Oma keluar kamar nanti.

“Oma tunggu kamu di meja makan, ya.” Perempuan tua itu berdiri, membereskan blus motif paisley-nya yang berkerut, mengencangkan jepit yang mencapit rambutnya yang sudah putih tapi masih lebat. Oma tersenyum. Keriput tidak menyusutkan kecantikan dari wajahnya. Oma sangat mirip Mama. Alvin mendadak merasakan kangen yang menjadikan kepulangannya ke Jakarta tidak terlalu buruk.

“Oma jadi masak?”

Bruinebonen soep (sup kacang merah) dan kaas brodje (roti keju). Sesuai pesananmu. Oma kan niet ferget (tidak bisa lupa), vent. Oma selalu pegang janji.”

Satu malam pada musim dingin pertamanya di rumah ini, pemanas rumah mereka rusak. Oma mendekapnya dan membungkusnya dalam selimut tebal. Mereka berdua bertahan seperti itu di sofa. Menunggu pagi. Untuk pertama kalinya juga mereka merasakan kedekatan seperti dua sahabat yang saling menjaga. Malam itu, Oma janji tidak akan menangis kalau satu saat Alvin pulang ke Indonesia. Dan Alvin pun ikut berjanji tanpa tahu betapa beratnya memegang janji itu.

Alvin memandangi neneknya yang berjalan menuju meja makan. Sudut mulut Oma selalu tampak tersenyum dan membuat air mukanya selalu ramah, langkahnya masih tegap meski memelan setahun belakangan ini. Dari celah pintu yang sedikit membuka, Alvin memandangi Oma membereskan taplak meja yang sudah rapi dan duduk menatap sup kacang merah yang mengepul di wajahnya. Sekalipun samar, Alvin dapat melihat mata tua itu berkaca-kaca, dan dalam gerakan cepat Oma tampak menyusut sesuatu dari ujung matanya.

Alvin menutup pintu kamar. Tak lama, seluruh ruangan itu tampak kabur. Berkali-kali Alvin mengerjapkan mata, tapi air di pelupuknya seperti tidak bisa berhenti.

***



Jakarta, Juli 1999 ...

Cewek bertubuh mungil itu tak henti-hentinya bergerak, berjingkat, kadang melompat, bahkan kakinya menendangi udara. Padahal kegiatannya hanyalah mengemas buku ke dalam dus, tapi dia memutuskan untuk mengombinasikannya dengan berjoget.

Kupingnya tersumbat earphone yang mengumandangkan musik new wave koleksi abangnya. Dia baru lulus SMA sebulan yang lalu, tapi selera musiknya sama dengan anak SMA lima belas tahun yang lalu. Semua orang selalu bilang, yang namanya Via itu luarannya doang up-to-date, tapi dalamannya out-of-date. Yang dikatai malah cuek cenderung bangga. Via tetap bersikeras bahwa musik tahun ’80, terkecuali fashion-nya, sangat keren dan genius.

“Karma-karma-karma-karma-karma Chameleon ... you come and go ... you come and gooo ...” Via mengipas-ngipas sebuah buku sambil menandak-nandak. Ia berusaha keras tidak melihat cermin karena kelebatan bayangannya saja sudah membuat ia ingin terpingkal-pingkal. Jelek banget,decaknya. Terkagum-kagum sendiri.

Dari luar, adik perempuannya, Keshia, mengetuk-ngetuk pintu. Setelah semenit tidak ada hasil, Keshia yang tidak sabar mulai menggedor-gedor.

“Via! Woooi! Ada telepon, tuh!”

Ada suara dewasa berceletuk pelan dari belakang, “Kak Via.” Terdengar penekanan pada kata ‘‘Kak’’.

Keshia melirik ibunya sambil melengos. Beliau tidak bosan-bosannya mengingatkan untuk memanggil Via dengan tambahan ‘kak’. Masalahnya, kelakuan kakak perempuannya yang satu itu kurang layak untuk menyandang title ‘‘kakak’’.

Pintu penuh stiker di hadapan Keshia membuka. Via melongok dengan sebelah earphone-nya menjuntai. Bukannya buru-buru mengangkat telepon, dia malah menengok ke ibunya dulu, “Ma, gimana kalau aku ganti nama jadi Karma? Kan tetap dari ‘K’. Jadi nggak menyalahi aturan rumah ini.”

Keshia ikut menengok ke ibunya dengan tatapan putus asa, “Tuh, kan, Ma? Dia aneh banget, kan?”

Ibunya hanya mengangkat bahu sambil terus membaca. “Punya anak lima saja manggilnya suka ketukar-tukar, apalagi ada yang mau ganti nama. Malas, ah. Nanti saja kalau Mama sudah tua, sudah pikun. Jadi nggak ngaruh. Mau Karma, kek, mau Karno ... terserah.”

Keshia dibuat melongo. Dia mulai menyadari dari mana keanehan Via itu berasal.

Dengan logat British yang dibuat-buat, Via menjawab telepon. “Karma Chameleon speaking. Who is this?”

Ada beberapa detik kosong sampai terdengar jawaban dari ujung telepon. “Vi? Ify, nih. Emang lu sangka siapa yang nelepon? Ratu Inggris?”

Mendengar suara Ify, mata Via langsung berbinar. Ify adalah sahabatnya sejak kecil. Dialah orang yang paling menunggu-nunggu Via selesai berkemas supaya bisa langsung cabut ke Bandung. Ify juga orang yang paling repot, persis seperti panitia penyambutan di kampung yang mau kedatangan pejabat tinggi. Dia yang mencarikan tempat kos bagi Via, menyiapkan jemputan, bahkan menyusun daftar acara mereka selama seminggu pertama. Singkatnya, Ify adalah seksi sibuknya.

“Jadi ke sini, nggak? Entar kamar kos lu keburu gua lego ke orang lain!” Suara Ify yang melengking tajam begitu kontras menggantikan suara Boy George yang halus dari kuping Via.

“Santailah sedikit, Bu Ify. Legalisasi STTB ke sekolah aja gua belum sempat ....”

“HA? Orang lain tuh sudah dari berabad-abad yang lalu legalisasi STTB-nya, tahu!”

“Itu jelas nggak mungkin. Yang namanya STTB baru ada waktu angkatan abang gua sekolah ....”

“Kapan mulai beres-beres, Vi? Buku-buku lu yang banyak banget itu dipaket aja ke Bandung, nggak usah bawa sendiri. Bagasi mobilnya Rio kan kecil, nanti nggak bakal muat. Lu bawa baju-baju aja, ya? Tiket kereta api udah pesan, belum? Lagi penuh lho. Ntar terpaksa beli di calo. Sayang duit.”

“Fy, lu tuh lebih cerewet dari tiga nyokap gua dijadiin satu. Serius.”

“Minggu depan, pokoknya nggak mau tahu, lu harus udah sampai di Bandung. Mobil Rio udah gua suruh masuk bengkel dulu biar nggak mogok pas ngejemput lu ke stasiun. Habis itu kita langsung keliling buat belanja kebutuhan lu. Kamar lu udah gua sapu-sapu dari kemarin. Pokoknya tahu beres, deh.”

 “Tapi lu juga lebih rajin dari tiga pembantu gua dijadiin satu.”

“Dasar anak gila!”

“Kurang ajar lagi ....”

“Iya! Kurang ajar!”

“Gimana sih, gua. Payah banget.”

Ify tiba-tiba tertawa. “Kok lu jadi marahin diri lu sendiri!”

“Iya, ya?” Via ikut tertawa. “Supaya menghemat energi lu, Fy. Kan lu udah capek bantuin gua. Udah capek ngurusin si Rio dan Fuad-nya yang ngadat melulu itu ...”

“Emang! Kadang-kadang mending nge-date pake sepeda kumbang daripada Fiat kuning itu. Lebih sering si Fuad mogok daripada si Kombi kawin.”

“Wuahahaha! Parah banget, dong! Mending kalo Fuad bisa beranak, minimal kalian bisa jadi peternak Fiat…” Via tergelak-gelak. Komba dan Kombi adalah pasangan hamster peliharaan Ify dan pacarnya, Rio. Pasangan Komba dan Kombi ini tidak henti-hentinya beranak sampai-sampai Ify dan Rio sempat punya profesi baru yakni pedagang hamster.

“Ya udah, minggu depan pokoknya gua tunggu di Bandung, ya. Jangan lupa: STTB, pesan tiket KA,packing, paketin buku-buku lu, payung lipat yang dulu lu pinjam, jaket jins gua—masih di lu kan, ya? Terus ...”

Via menjauhkan gagang telepon sebentar dari kupingnya, menunggu sayup suara Ify selesai bicara sambil pindah-pindah saluran teve.

“Vi? Udah dicatat semua? Via?”

Via buru-buru menyambar telepon kembali. “Siap! Sampai ketemu minggu depan, ya!”

Saat pembicaraan telepon itu usai, Via terkikik-kikik sendiri. Sahabatnya yang satu itu memang luar biasa. Keluarganya sendiri bahkan tidak usah repot mengurus ini-itu ketika Via harus bersiap kuliah di Bandung. Ify membereskan hampir segala persiapan Via dengan baik dan sukarela. Dari mereka kecil memang selalu begitu. Orang-orang bilang, Ify seperti mengasuh adik, padahal mereka seumuran.

Ify yang anak tunggal dan Via yang dari keluarga besar adalah sahabat karib yang saling melengkapi sejak TK. Kedua ayah mereka sama-sama merintis karier di perusahaan yang sama, dan hubungan kedua keluarga itu terjalin akrab semenjak hari pertama mereka berjumpa. Seperti disengaja, kedua ayah mereka pun selalu ditugaskan berbarengan.

Ify dan Via tumbuh besar bersama, selalu tinggal di kompleks perumahan yang sama, pindah dari satu kota ke kota lain hampir selalu bersamaan: Ujungpandang, Balikpapan, Bontang, dan berakhir di Jakarta saat mereka kelas 1 SMP. Pada tahun itu, untuk pertama kalinya mereka berpisah. Ayah Ify yang duluan pensiun, memilih tinggal di Subang untuk menghabiskan hari tuanya, dan Ify kemudian disekolahkan di Bandung. Sementara ayah Via tetap tinggal di Jakarta bersama keluarganya.

Meski Ify selalu tampak lebih dewasa dan teratur ketimbang Via yang serampangan, sesungguhnya Via memiliki keteguhan yang tidak dimiliki Ify. Sejak kecil, Via tahu apa yang dia mau, dan untuk hal yang ia suka, Via seolah-olah bertransformasi menjadi sosok yang sama sekali berbeda.

Pilihannya mengambil jurusan Sastra adalah buah dari cita-citanya yang ingin jadi penulis dongeng. Pilihannya kuliah di kota lain adalah buah dari khayalannya untuk hidup mandiri. Di luar dari perilakunya yang serba spontan, Via merencanakan dengan matang perjalanan hidupnya. Ia tahu alasan di balik semua langkahnya, dan benar-benar serius menangani impiannya.

Dari SD, Via rajin menabung, dan semua hasil tabungannya dibelikan buku cerita anak-anak, dari mulai cergam stensilan sampai buku dongeng klasik yang mahal. Kemudian investasi itu ia putarkan lagi melalui usaha penyewaan, sampai bukunya terus bertambah banyak. Jadilah Via pemilik taman bacaan termuda di kompleksnya, sekaligus yang tergalak. Seperti predator di hutan rimba, ia memburu para penyewa ‘‘nakal’’ dengan sepeda mininya, hingga mereka tersudut dan tidak ada cara lain agar berhenti dikejar-kejar selain mengembalikan buku.

Via melakoni dengan tekun segala kegiatan yang ia anggap menunjang cita-citanya. Via menjadi Pemimpin Redaksi majalah sekolah dari mulai SMP sampai SMA. Ia dikenal sebagai pionir dengan ide-ide segar bagi kehidupan bulletin sekolah, ia nekat memburu para figur publik betulan  untuk diwawancarai dengan pendekatan yang profesional, yang lalu dituangkan ke dalam bentuk artikel yang serius. Dengan rajin ia mengikuti segala perlombaan menulis di majalah-majalah, lalu bekerja sebaik dan sekeras mungkin, untuk akhirnya keluar menjadi juara. Sampai-sampai Via hafal juri-juri mana yang biasa dipakai dan bagaimana seleranya.

Tidak semua orang menganggap menjadi penulis dongeng layak disebut sebagai cita-cita. Via juga tahu itu. Semakin ia beranjak besar, Via sadar bahwa sebuah cita-cita yang dianggap layak sama dengan profesi yang pasti menghasilkan uang. Penulis dongeng bukan salah satunya. Untuk itu, sepanjang hidupnya Via berupaya membuktikan bahwa ia bisa mandiri dari buku dan menulis.

Dalam kamarnya yang bergabung dengan taman bacaan di loteng rumah, Via menyusun balok demi balok mimpinya. Suatu hari ia bukan hanya seorang kolektor buku dongeng. Ia akan menulis dongengnya sendiri, kendati jalan yang ditempuhnya harus berputar-putar.

#bersambung

Perahu Kertas (Sinopsis)


Sinopsis "Perahu Kertas"

Kisah ini dimulai dengan Alvin, seorang remaja pria yang baru lulus SMA, yang selama enam tahun tinggal di Amsterdam bersama neneknya. Alvin memiliki bakat melukis yang sangat kuat, dan ia tidak punya cita-cita lain selain menjadi pelukis, tapi perjanjiannya dengan ayahnya memaksa ia meninggalkan Amsterdam dan kembali ke Indonesia untuk kuliah. Alvin diterima berkuliah di Bandung, di Fakultas Ekonomi.

Di sisi lain, ada Via, cewek unik cenderung eksentrik, yang juga akan berkuliah di universitas yang sama dengan Alvin. Sejak kecil, Via menggila-gilai dongeng. Tak hanya koleksi dan punya taman bacaan, ia juga senang menulis dongeng. Cita-citanya hanya satu: ingin menjadi juru dongeng. Namun Via sadar bahwa penulis dongeng bukanlah profesi yang meyakinkan dan mudah diterima lingkungan. Tak ingin lepas dari dunia menulis, Via lantas meneruskan studinya di Fakultas Sastra.

Via dan Alvin dipertemukan lewat pasangan Rio dan Ify. Rio adalah sepupu Alvin, sementara Ify adalah sahabat Via sejak kecil. Terkecuali Ify, mereka semua hijrah dari Jakarta, lalu berkuliah di universitas yang sama di Bandung.Mereka berempat akhirnya bersahabat karib.

Lambat laun, Via dan Alvin, yang memang sudah saling mengagumi, mulai mengalami transformasi. Diam-diam, tanpa pernah berkesempatan untuk mengungkapkan, mereka saling jatuh cinta. Namun kondisi saat itu serba tidak memungkinkan. Via sudah punya kekasih, cowok mentereng bernama Cakka, alias Okka (panggilan yang dengan semena-mena diciptakan oleh Via). Sementara Alvin saat itu dicomblangkan oleh Ify dan Rio dengan seorang kurator muda bernama Angel.

Persahabatan empat sekawan itu mulai merenggang. Via lantas menenggelamkan dirinya dalam kesibukan baru, yakni menjadi guru relawan di sekolah darurat bernama Sakola Alit. Di sanalah ia bertemu dengan Pilik, muridnya yang paling nakal. Pilik dan kawan-kawan berhasil ia taklukkan dengan cara menuliskan dongeng tentang kisah petualangan mereka sendiri, yang diberinya judul: Jenderal Pilik dan Pasukan Alit. Via menulis kisah tentang murid-muridnya itu hampir setiap hari dalam sebuah buku tulis, yang kelak ia berikan pada Alvin.

Kedekatan Alvin dengan Angel yang awalnya mulus pun mulai berubah. Alvin disadarkan dengan cara yang mengejutkan bahwa impian yang selama ini ia bangun harus kandas dalam semalam. Dengan hati hancur, Alvin meninggalkan kehidupannya di Bandung, dan juga keluarganya di Jakarta. Ia lalu pergi ke Ubud, tinggal di rumah sahabat ibunya, Pak Dayat.

Masa-masa bersama keluarga Pak Dayat, yang semuanya merupakan seniman-seniman sohor di Bali, mulai mengobati luka hati Alvin pelan-pelan. Sosok yang paling berpengaruh dalam penyembuhannya adalah Shilla Tiara, keponakan Pak Dayat. Alvin mulai bisa melukis lagi. Berbekalkan kisah-kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit yang diberikan Via padanya, Alvin menciptakan lukisan serial yang menjadi terkenal dan diburu para kolektor.

Via, yang juga sangat kehilangan sahabat-sahabatnya dan mulai kesepian di Bandung, menata ulang hidupnya. Ia lulus kuliah secepat mungkin dan langsung bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta sebagai copywriter. Di sana, ia bertemu dengan Gabriel, atasannya sekaligus sahabat abangnya. Via meniti karier dengan cara tak terduga-duga. Pemikirannya yang ajaib dan serba spontan membuat ia melejit menjadi orang yang diperhitungkan di kantor itu.

Namun Iyel melihat sesuatu yang lain. Ia menyukai Via bukan hanya karena ide-idenya, tapi juga semangat dan kualitas unik yang senantiasa terpancar dari Via. Dan akhirnya Iyel harus mengakui bahwa ia mulai jatuh hati. Sebaliknya, ketulusan Iyel juga akhirnya meluluhkan hati Via.

Sayangnya, Alvin tidak bisa selamanya tinggal di Bali. Karena kondisi kesehatan ayahnya yang memburuk, Alvin terpaksa kembali ke Jakarta, menjalankan perusahaan keluarganya karena tidak punya pilihan lain.

Pertemuan antara Via dan Alvin tidak terelakkan. Bahkan empat sekawan ini bertemu lagi. Semuanya dengan kondisi yang sudah berbeda. Dan kembali, hati mereka diuji. Kisah cinta dan persahabatan selama lima tahun ini pun berakhir dengan kejutan bagi semuanya. Akhirnya setiap hati hanya bisa kembali pasrah dalam aliran cinta yang mengalir entah ke mana. Seperti perahu kertas yang dihanyutkan di parit, di empang, di kali, di sungai, tapi selalu bermuara di tempat yang sama. Meski kadang pahit, sakit, dan meragu, tapi hati sesungguhnya selalu tahu.

Diwarnai pergelutan idealisme, persahabatan, tawa, tangis, dan cinta, “Perahu Kertas” tak lain adalah kisah perjalanan hati yang kembali pulang menemukan rumahnya.

#bersambung

Aku Mati Memeluk Boneka [Chapter 1 ] *Mau main denganku...?*


Mau Main denganku?
SEORANG pemuda tengah berbaring di atas kasur. Kedua siku tangannya menyangga sebuah majalah bersampul personel korn yang hampir menutupi tulisan  PLANET MUSIC. Majalah itu nyaris menenggelamkan wajahnya. Sesekali tangan kirinya mendekat ke tangan satunya untuk membuka halaman.
LCD sedang memutar  I Stand Alone seolah membuat poster-poster penyanyi rock yang menempel di dinding berjingkrak jingkrak sambil berteriak. Di sisi kanan LCD terdapat tumpukan buku. Semuanya tersusun rapi sesuai dengan jenis-jenis buku. Tiba-Tiba  portable sound yang menyuarakan  Godsmackterganggu dengan gelombang ponsel. Sebuah pesan masuk....
Pemuda itu tak menghiraukannya. Ia lebih tertarik pada cangkir kopi yang sudah terasa dingin. Namun,aromanya masih tercium saat ia mendekatkan mulutnya ke bibir cangkir. Barulah dengan malas ia mengambil ponselnya. Ada sebuah pesan muncul di ponselnya. Tanpa Pengirim

 ‘Nang ning nang gung. Namaku Putri,Usiaku 7 tahun.                                                                                                                                                                         
  Tahun 1967 seluruh keluargaku mati di bantai.                                                                                                                                                                            
 Aku mati saat memeluk boneka.
 Temani aku malam ini.                                                                                                                                                                
 Jika tidak mau,   kirim pesan ini ke tujuh nomor lain.’


Pemuda itu menatap salah satu poster di dindingnya. Seolah poster tersebut ikjut memberi komentar:  mengancungkan jari tengah ke depan hidung! Pemuda itu setuju dan menggap pesan itu adalah lelucon paling konyol yang pernah di terimanya. Mana mungkin tahun 1967 sudah ada sms, pikir konyolnya.
Dan lelucon itu membuat kerongkongannya menjadi kering.  Sedangkan air di botol mineralnya sudah habis di tenghaknya tadi. Dengan agak kesal ia membuka pintu kamarnya, turun ke bawah mengambil air di galon.
Lampu di ruang bawh padam. Hanya ada sorot lampu dari teras menerobos kaca jendela. Kelambunya yang tipis cukup untuk melihat pemandangan di luar.  Cahaya itu membantu matanya untuk menemukan galon..
Ada sepasang mata di balik kaca jendela. Ada Seorang anak berwajah pucat sedang berdiri di teras, Mengawasi dirinya! Ia mencoba memperhatikan dengan detai lagi,Namun  ia segera menyimpulkan bahwa itu adalah gerakan dedaunan yang menciptakan bayangan.

Tiga tegak air Cukup membasahi kerongkongannya. Ia mengisi botol air mineralnya,agar jika nanti ia merasa haus lagi, dirinya tidak perlu turun untuk yang kedua kalinya. Ada Sesuatu aneh kembali di lihatnya. Kali ini lebih jelas.                                                                                                    

   Ia Melihat Seorang gadis kecil sedang berdiri di balik kelambu sambil mendekap boneka. Bulu kuduknya merinding,Tapi setelah diamatinya lebih teliti lagi, itu hanyalah kelambu yang tertiup angin                                                                                                                    
    Ia Menggelengkan kepala. Dirnya menyimpulkan bahwa akhir-akhir ini kurang tiur. Itulah barangkali yang membuat sepasang matanya gak kacau dan otaknya mencitrakan hal-hal yang sama kacaunya. Namun, perasaanya makin tidakk dapat dipungkiri perasaan membuat bulu kuduknya kembali merinding
   Terlebih lagi saat kakinya menginjak seseuatu di tangga. Padahal, dirinya tak mendapati ada seseuatu di tangga saat menuruninya tadi. Ketika ia mencoba melihat benda itu dan mengambbilnya, ia tersentak!                                                                                                                                           
   Ia menemukan sebuah Tangan,tangan boneka! Padahal ia tidak pernah melihat ada anak kecil yang suka bermain boneka di rumah ini. Pikirannya seketika menghubung-hubungkan seseuatu di balik jendela dengan pesan yang di terimanya tadi. Bisa jadi ibunya yang sering membawa anak tetangga kerumah ini,menjatuhkan mainan
   Otaknya segera memberikan ide untuk segera ke kamar dan menguncinya dari dalam. Dan pemuda itu bergegas menuju kamar untuk melupakan kejadian malam ini, Kejadian yang membuat kepalanya pusing dan bulu kuduknya merinding                                                                                    
Di kuncinya Pintu kamar, Ada pesan baru lagi muncul di ponselnya. Nomor  sama dengan sebelumnya. Jantung lelaki itu berdegup kencang, Darahnya terasa mengalir di balik kulit. Leher belakangnya terasa tertiup saat membaca pesan:

Mau main?

    Bahu pemuda itu turun naik dengan ritme yang cepat, Bola matanya bergerak menelusuri ruangan, Jangan-jangan ia menemukan seseuatu yang aneh. Lalu ia menarik selimut menutupi wajahnya di dalam selimut, cepat-cepat ia memforward pesan pertama. Ia mengirim nomor lainnya semua pending.  Sebuah pesan kembali masuk:

Sudah terlambat. Temani aku

      Lelaki itu berbaring sambil merapatkan punggungnya ke tembok. Selimut masih menutup seluruh tubuhnya. Tiba-tiba ia merasa yakin bahwa di bawah kolong tempat tidurnya ada gadis kecil yg sedang menggesekan boneka ke lantai. Ia mencoba  mengintip dari balik selimut Tidak terjadi apa-apa lama ia menunggu, tetapi tidak ada sesuatu yang janggal terterjadi. Sebagai lelaki, pikirnya, ia harus bisa melewati malam ini dengan penuh kejantanan. Sebab ini semua hanyaah lah perasaan takut semata.
   Kalau begitu, pikirnya lagi, ia harus memastikan indra penglihatannya bahwa di bawah kolong tempat tidurnya tidak ada apa-apa. Pelan-pelan ia mencoba menarik selimut dari kepalanya . lantas ia mencoba merayapkan  kepalanya kepinggir kasur,
Tanpa di sadari, napasnya tertahan ketika hidungnya mendekati pinggiran kasur. Satu gerakan lagi ia akan bisa melihat isi kolong itu. Kulit di bawah sepasang alisnya terangkat ke atas, membuat sepasang matanya terbelakak, jantungnyamengiringi irama napas yang tadi tertahan. Bulu roma di sekujur tubuhnya pun ikut bergetar..
   Tiga. Dua. Ia menghentinkan napasnya sambil menghitung mundur sebagai ancang-ancang. Satu! Ia belum juga melakukannya. Hidungnya masih melekat di pinggir kasur. Nol! Barulah kepala lelaki itumenggantung mekihat isi di kolong tempat tidurnya.

    Perasaan ternyata lebih menakutkan dari pada kenyataan, Akhirnya ia sadar bahwa perasaanya dapat di balik dengan kenyataan yang di tunjukan oleh indra. Termasuk perasaan takutnya. Dilihatnya sekali lagi poster di dindingnya yang sedang mengancungkan jari tengah  ke depan hidung. Ia masih menikmati kelucuan sikapnya dengan kepalanya menggantung di kolong tempat tidur. Ia menyesal telah meneruskan pesan tersebut ke tujuh nomor lain.
   Lehernya terasa pegal juga ketika harus berposisi seperti itu,ia menarik tubuhnya kembali ke tengah kasur. Tapi, kali ini indranya tidak dapat membohongi apa yang ada di sampingnya. Seorang gadis berwajah pucat tersenyum dengan ganjal di sampingnya, Gadis itu mengulurkan boneka yang salah satu bagian tangannya hilang
“Aaaaaaaaaaaaaa!”

Sipnopsis "Aku Mati Memeluk Boneka" -Versi IC-


SIPNOPSIS..
                           “...Temani aku malam ini.                                                                                                         
     Jika tidak mau, kirim pesan ini ke tujuh nomor lain..”   

         Satu persatu dari mahasiswa universitas terkenal di Malang mati secara tragis. Peristiwa Terjadi pada acara diklat UKM di hutan Coban Talun.                   Kabar ini tersiar ke media massa yang segera mem-blow-up  berita. Rio, yang menjadi ketua panitia,dan beberapa orang anggota panitia shock  atas kejadian ini. Ada isu   yang menyebutkan peristiwa ini di sebabkan teror maut yang di lakukan arwah penasaran gadis pembawa boneka


Untuk menguak kebenaran dan latar belakang di balik peristiwa ini,   Rio,Ify,Gabriel, dan beberapa kawan yang selamat menyelidikinya. 
Mereka menemukan kenyataan yang janggal..      
          Berhasilkah,  Rio,Ify,Gabriel, dkk. Menguak kebenarannya dan selamat dari incaran gadis pembawa boneka yang kejam?

up