Perahu Kertas (03) Mother Alien

Mother Alien

Ify dan Rio, yang mulai putus asa menunggu di tempat sama, akhirnya berjalan ke teras depan stasiun. Suasana mulai lengang, tinggal segelintir orang yang tersisa.

“Aku coba telepon ke rumah tanteku, deh. Siapa tahu memang dia pakai kereta yang lain. Pinjam HP ya, Fy Pulsa cekak, nih.”

Sambil memberengut, Ify menyerahkan ponselnya. Namun, tangannya tergantung di udara, karena tiba-tiba terdengar suara yang sangat ia kenal bergaung lewat speaker seantero stasiun.

“Panggilan untuk Alvin penumpang KA Parahyangan dari Jakarta, sekali lagi, saudara Alvin, sepupu dari Rio Stevadit, ditunggu oleh saudara Rio yang ciri-cirinya sebagai berikut: rambut cepak berjambul Tintin, tinggi 175 cm, kulit sawo matang, mata besar bulu mata lentik, pakai kaus Limpbizkit, ditemani oleh dua cewek cakep ....”

Ify dan Rio melongo. Keduanya menoleh ke belakang, melihat Via di bilik informasi sedang menguasai mikrofon. Tak lama seorang petugas datang tergopoh-gopoh untuk mengendalikan situasi. Seorang anak kurang ajar rupanya telah menjajah daerah kekuasaannya saat ia pergi sebentar ke kamar mandi barusan.

Tak hanya Ify dan Rio yang ikut menoleh, seorang pemuda yang berdiri tak jauh dari mereka pun ikut melongok. Dan kini orang itu yakin bahwa perempuan aneh yang kini tengah diusir petugas itu memang orang sama yang memanggil namanya tadi.

Sambil tertawa riang, Via menghampiri Ify dan Rio. “Ha-ha ... salah sendiri posnya ditinggal ....”

Dari arah lain, tampak satu sosok mendekati mereka bertiga.

Baru saja Alvin mau mengucap “permisi” untuk yang kedua kalinya, matanya tertumbuk pada wajah yang kali ini rasanya ia sungguhan kenal.

“Rio?” panggilnya setengah meragu.

“Alvin?” Rio membalas sama ragunya.

Keduanya tercenung memandangi satu sama lain. Dalam koridor memori masing-masing, ingatan mereka berkejaran menuju ke sembilan tahun lalu. Dalam ingatan Alvin, Rio adalah anak berbadan besar cenderung tambun, periang, bermata cantik seperti anak perempuan dengan bulu mata lebat dan lentik. Dalam ingatan Rio, Alvin adalah anak bule berambut kecokelatan, kurus dengan tungkai-tungkai panjang, bersorot mata teduh dan selalu tersenyum ramah, tapi jarang bicara. Dan sekarang Alvin menjulang tinggi dan tegap, rambutnya yang diikat tak lagi cokelat melainkan hitam pekat, tampak terjurai sedikit melewati pundak. Hanya sorot matanyalah yang tak berubah, yang sejak kecil membuat Alvin tampak lebih dewasa dari umurnya. Alvin pun tak akan mengenali sepupunya jika saja tidak menemukan kedua mata bundar yang dinaungi bulu-bulu lentik yang sejak dulu menjadi ciri khas Rio, yang membuatnya dulu dipanggil ‘‘Si Cowok Cantik’’. Sekarang sepupunya sudah tidak bulat lagi seperti bola, malah lebih mirip pelatih fitness.

Jarak sembilan tahun itu seketika melumer ketika keduanya berdekapan sambil tertawa bersama, menyadari bahwa sejak tadi mereka ternyata berdiri bersisian.

“Bener juga kata Tante Lena, lu udah makin kayak seniman sekarang!” seru Rio sambil menepuk bahu Alvin. “Kenalin, Vin. Ini cewek gua, Ify. Dan ini sahabatnya Ify…”

Hanya Via yang tampak menyimpan kepanikan saat berkenalan dengan Alvin. Wajahnya bersemburat merah saat ia mengulurkan tangan, “Hai. Via…”

Alvin tersenyum lebar menyambut tangan mungil dengan muka yang kini merunduk malu itu. Betulan seperti anak kucing. “Hai. Akhirnya kenalan juga.”

“Memangnya kalian udah ketemu?” komentar Rio melihat pemandangan ganjil itu. Via yang tahu-tahu melempem seperti kerupuk disiram air, sementara ekspresi Alvin seperti orang yang menangkap basah sesuatu.

“Belum!” keduanya menjawab kompak. Mereka berdua berpandangan lalu tertawa.

“Sudah!” ralat keduanya lagi, juga bersamaan. Dan mereka tertawa lagi.

“Gimana, sih?” Rio dan Ify mulai merasa ada konspirasi di balik ini semua.

“Mungkin kita sudah ketemu di kehidupan lampau ....” timpal Via cepat.

Yup. Dan dulu dia galak sekali.” Alvin ikut menambahkan, mantap.

Rio melengos melihat keduanya, malas mempermasalahkan apakah dua orang itu serius atau bercanda. “Dari dulu dia udah hancur gini belum dandanannya?” celetuknya sambil menunjuk Via.

“Oh, selalu!” Alvin nyengir.

Via ikut mengekeh, bangga. Percaya dirinya sudah kembali. Seketika ada keakraban yang juga mencairkan jarak dan waktu di antara mereka berempat, seolah mereka telah berkenalan jauh lebih lama dan bukannya barusan.

Tak lama kemudian, hujan kembali mengguyur Kota Bandung. Sebuah Fiat warna kuning terang tampak berusaha keras keluar dari parkiran stasiun. Ify di belakang kemudi, sementara ketiga temannya mendorong di belakang. Tubuh mungil Via diapit oleh kedua lelaki besar di kiri-kanan, tapi jelas suara lantangnya yang berfungsi sebagai mandor. Ia berteriak-teriak sekuat tenaga untuk membakar semangat, sampai akhirnya Fiat itu berhasil kembali melaju dengan tenaga mesin. Bukan manusia.

***



Dering telepon meraung-meraung di koridor kos-kosan itu sejak tadi, bersahutan dengan derap kaki yang berlari dan teriakan berulang-ulang: “Ngga usah diangkaaaaat! Itu buat sayaaa!”

Via menyambar kop telepon dan terengah menyapa, “Halo ....”

“Hai, Sayang.”

“Hai, Kka…”

“Kamu baru jogging? Tumben rajin.”

“Bukan. Baru dorong mobil.”

“Hah?”

“Hujan-hujanan lagi. Gede banget.”

“HAH? Kok bisa?”

“Biasa. Fuad lagi penyakitan, sementara Rio harus jemput sepupunya ke stasiun, yang dari Belanda itu lho, terus mereka butuh aku untuk dorong mobil kalau-kalau mogok. Eeeh ... dasar si Fuad, beneran mogok dia.”

“Gila ya si Rio! Ngga ada orang lain, apa? Masa kamu yang mereka andalkan? Di stasiun kan banyak kuli. Bayar kek buat dorong mobil, ngemodal dikit. Nanti kalau kamu flu gara-gara kehujanan, memangnya si Rio atau si Fuad bisa gantiin kamu kuliah?”

“Kka, nggak pa-pa, kok. Yang dorong beneran kan Eko sama sepupunya. Aku cuma nyumbang spirit sama acting ngedorong doang.”

“Tapi tetap hujan-hujanan, kan?”

“Iya, siiih ....”

“Nah, itu dia!” Dan banjiran kalimat berikutnya mengalir tanpa jeda.

Via menunggu sambil memanyunkan mulut dan memeras ujung-ujung kausnya yang basah. Ia memang tak akan pernah bisa menang jika beradu mulut dengan Cakka, pacarnya sejak dua tahun terakhir. Kendati begitu, Cakka pun seringkali mati kutu jika berhadapan dengan Via. Buktinya, dia harus merelakan namanya yang indah ‘‘dirusak’’ menjadi “Okka”, dan hanya Via satu-satunya di dunia yang berani melakukan itu.

Bagi Via, ungkapan opposite attract adalah yang paling sempurna untuk menggambarkan dinamikanya dengan Okka. Tak ada satu pun temannya yang percaya bahwa keduanya bisa jadian, begitu juga dengan teman-teman Okka. Keduanya bertolak belakang hampir dalam segala hal. Okka yang necis dan jago basket adalah pujaan banyak cewek di sekolah karena kegantengannya, mobilnya yang keren, dan sikapnya yang sesuai primbon Prince Charming. Membukakan pintu, membawakan seikat bunga, dan makan malam di restoran mewah bertemankan sinar lilin, adalah standar prosedur Okka. Di sisi yang berbeda, Via pun termasuk sosok populer di sekolah karena aktivitas dan pergaulannya yang luas. Tapi Via berasal dari kutub yang berbeda. Via dikenal dengan julukan Mother Alien. Ia dianggap duta besar dari semua makhluk aneh di sekolah. Semuanya tak habis pikir, bagaimana mungkin Prince Charming dan Mother Alien bisa bersatu?

Tidak juga Okka, atau Via, tahu jawabannya. Mungkin karena Via begitu berbeda dengan semua cewek yang pernah dipacarinya, Okka begitu terkesima melihat bagaimana Via begitu santai dan berani menjadi dirinya sendiri, sementara cewek-cewek lain sibuk mencari muka hanya supaya Okka mau mengajak mereka makan atau nonton barang sekali saja. Via sendiri tak pernah menganggap Okka serius mendekatinya karena menyadari betul perbedaan mencolok di antara mereka berdua. Via tak sadar, sikapnya justru membuat Okka semakin penasaran.

Via tak akan pernah lupa hari mereka jadian. Pada sore itu, hujan pun turun sama lebatnya. Dan Okka keburu menerima tantangan Via untuk bertandang ke rumahnya pakai kendaraan umum. Datanglah Okka di depan pintu, basah kuyup karena gengsi bawa payung, rambut rapinya layu ditimpa air hujan, dan seikat mawar putihnya berantakan tergencet punggung orang di Metro Mini. Dan kali itu, Via melihat Okka dengan pandangan lain, bukan lagi anak manja yang dipuja-puja satu sekolah, melainkan seseorang yang siap berkorban demi pilihan hatinya. Dan hati Via pun akhirnya memilih.

Hampir dua tahun mereka pacaran, dan mereka tetap dua manusia yang bertolak belakang. Di mata Via Okka yang perhatian dan cerewet kadang-kadang berfungsi sebagai penata hidupnya dan kaki-kaki yang membantunya menjejak bumi saat terlalu lama berada di dunia khayal. Di mata Okka, Via yang cuek dan seenaknya terkadang menjadi pengingat bagi dirinya untuk bersikap santai dan terbuka bagi segala kejutan dalam hidup.

Cukup banyak penyesuaian yang mereka pelajari selama dua tahun ini. Salah satu trik yang dipelajari Via kalau Okka sedang kambuh cerewetnya adalah menjauhkan sedikit gagang telepon lalu mencari kesibukan lain, dan kini ia masih asyik memeras ujung-ujung bajunya.

“Vi? Via? Denger nggak?”

Via tersadar dan buru-buru mendekatkan gagang telepon.

“Kenapa? Sori tadi kresek-kresek ....”

“Tadi aku bilang, lain kali kamu naik taksi aja ke mana-mana, jangan percaya deh sama si Fuad. Udah sering kamu dikerjain mobil satu itu.”

“Ogah, ah. Naik taksi mahal. Kalau dorong Fuad, udahannya malah suka dijajanin minum sama Rio.”

Okka menghela napas. Putus asa. “Ya udah. Terserah. Ganti baju gih, nanti masuk angin. Oh, ya, kapan dong kamu beli HP baru? Masa kalau mau telepon harus ke kosan terus. Kan enakan ngobrol di kamar.”

Ponsel Via, produk second keluaran empat tahun yang lalu, sudah tak berfungsi lagi layarnya. Selama ini ia terpaksa menggantungkan nasib pada feeling, dari mulai urusan memencet nomor sampai menerima telepon. Alhasil, Via kehabisan banyak pulsa karena salah sambung, dan tak berhasil menghindari telepon-telepon yang tak diinginkan karena tidak tahu siapa gerangan yang meneleponnya.

“Aku nabung dulu, ya, Kka. Aku lagi bikin cerpen, nih. Kali ini aku mau coba kirim ke majalah. Jadi ada penghasilan. Malu minta sama Bokap. Lagian kalo buat HP kayaknya nggak akan dikasih.”

“Kamu lagi bikin cerita apa?”

“Aku lagi bikin cerpen cinta gitu. Kalau dimuat, honornya cukupan beli HP baru.”

“Pasti dimuat. Kamu kan hebat. Ceweknya siapa dulu...”

“Oh, ya, aku juga lagi bikin dongeng tentang sayur-sayuran. Jadi gini, tokoh utamanya Pangeran Lobak dari kerajaan Umbi, lalu tokoh antagonisnya penyihir namanya Nyi Kunyit dari negeri Rempah ...”

Okka punya trik jika Via sedang berceloteh tentang dunia khayal yang tak ia mengerti, yakni menjauhkan gagang telepon sedikit dan mencari kesibukan lain. Okka mulai membuka-buka tumpukan majalah otomotif di hadapannya, sementara mulutnya sesekali membuka, “Oh, ya? Hmm. Oooh. Ya, ya. Hmm. Oh, ya? Hmm ....”

“Seru, kan? Hebat nggak ceritaku? Kka? Halo?”

Okka tersadar dan buru-buru mendekatkan gagang telepon. “Wow! Gila. Seru banget! Ya udah, kamu mandi, gih. Besok aku telepon lagi ya, Sayang. Bye!”

“Dah!” balas Via. Baru saja Via hendak bangkit berdiri, tahu-tahu selembar handuk telah dilemparkan ke pangkuannya.

“Diomelin sama Okka, ya?” tanya Ify yang sudah berdiri di depan Via.

“Yah, biasalah. Kayak nggak tahu aja. Dia kan jelmaan lu dalam bentuk laki-laki,” ujar Via sambil terkekeh.

“Nanti malam diajak makan sama Rio. Gabung, yuk.”

Via menelan ludah. “Pakai Fuad lagi?”

“Fuad tewas. Besok masuk bengkel dulu. Rencananya Rio dan Alvin mampir ke sini pakai angkot, nanti kita jalan kaki aja cari yang dekat-dekat, atau pesan makanan lewat telepon.”

“Terima kasih ya, Tuhan! Makan gratis! Ngga pakai dorong!” Via melonjak girang dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

#bersambung

Perahu Kertas (02) Pindah Ke Bandung

Pindah Ke Bandung

Jakarta, Agustus 1999 ...

“Alvin mana, Ma?” tanya pria itu dengan gelisah. Badannya, yang tinggi dan masih tegap untuk umurnya yang memasuki kepala lima, hanya berbalutkan kaus putih polos dan celana olahraga. Langkah-langkah beratnya hilir mudik sedari tadi.

“Palingan juga masih tidur,” jawab istrinya santai. Konsentrasinya lebih terpusat pada dua gelas berisi kopi susu panas yang sedang ia aduk.

“Gimana, sih. Kok kayaknya kita yang lebih antusias menunggu pengumuman UMPTN daripada pesertanya sendiri,” dumel suaminya.

“Eh, itu, korannya datang!” seru istrinya ketika ia mendengar gesekan kertas koran di depan pintu.

Seperti balap lari, mereka buru-buru ke pintu depan dan langsung membuka halaman tengah koran yang padat dengan barisan nama-nama.

“Ini namanya! Dia masuk!” istrinya berseru dengan suara tercekat sambil menunjuk satu nama.

Antara percaya dan tidak, pria itu pun meyakinkan dirinya berkali-kali, bahwa memang cuma ada satu nama seperti itu: K A L V I N. Tercetak jelas.

“Kita bangunkan saja dia,” ujarnya tidak sabar.

“Ah, nggak usah. Biar dia tidur sepuas-puasnya. Kasihan Alvin, dari kemarin begadang terus,” istrinya menyergah dengan senyum mengembang, “toh hari ini dia sudah membuat kita semua lega.”

Padahal Alvin sudah tahu apa yang terjadi. Tidak mungkin menutup telinga dari suara apa pun di rumah mungil ini. Sambil meringkuk dan memeluk lutut, Alvin menerawang di atas tempat tidur, bertanya-tanya pada dirinya sendiri: apakah ia salah karena tidak merasakan kebahagiaan yang sama? Apakah ia puas atas kesuksesannya menyenangkan orang lain? Dan apakah ia cukup berduka atas pengkhianatannya pada diri sendiri?

Di depan kanvas, mata Alvin terpaku. Mendapatkan lembar kosong itu sebagai jawaban pertanyaan hatinya.

***



Dua belokan dari rumah Via, ada sebuah kali. Meski berair cokelat, arus kali itu mengalir lancar dan tidak mampat seperti kebanyakan kali di Kota Jakarta. Via menyadari sesuatu ketika baru pindah ke Jakarta, di mana pun ia tinggal, ia selalu menemukan air mengalir dekat rumahnya. Seolah-olah ada yang menginginkan agar kebiasaannya yang satu itu terus berjalan.

Via ingat betul bagaimana sejarah kebiasaan itu bermula. Waktu itu keluarganya masih tinggal di Ujungpandang. Rumah mereka yang berseberangan dengan laut membuat Via kecil banyak menghabiskan hari-harinya di pantai. Adalah Kiki, abangnya yang paling besar, yang pertama kali memberi tahu bahwa zodiak Via adalah Aquarius. Simbolnya air. Via kecil lalu berkhayal dirinya adalah anak buah Dewa Neptunus yang diutus untuk tinggal di daratan. Seperti mata-mata yang rutin melapor ke markas besar, Via percaya bahwa ia harus menulis surat untuk Neptunus dan melaporkan apa saja yang terjadi dalam hidupnya.

Ia mengirim suratnya yang pertama saat mulai bisa menulis sendiri. Via melipat surat itu menjadi perahu lalu dihanyutkan ke laut. Hampir setiap sore Via selalu mampir ke pantai, mengirimkan surat-surat berisi cerita atau gambar untuk Neptunus.

Via protes keras saat keluarga mereka harus pindah kota, yang artinya tak ada pantai lagi dekat rumah. Ia ngambek berkepanjangan sampai akhirnya Kiki menjelaskan bahwa selama ada aliran air, di mana pun itu, Via tetap bisa mengirim surat ke Neptunus. Semua aliran air akan menuju ke laut, begitu kata Kiki sambil menyusutkan linangan air mata di pipi Via.

“Air sungai bakal sampai ke laut?”

Kiki mengangguk.

“Air empang bakal sampai ke laut?”

Kiki mengangguk lagi.

“Air selokan bakal sampai ke laut?”

Kiki masih mengangguk.

Barulah Via teryakinkan. Kendati bukan lagi dekat laut, rumah mereka yang berpindah-pindah selalu dekat sesuatu yang mampu meyakinkan Via bahwa surat-suratnya tetap sampai pada Neptunus. Termasuk rumah mereka yang dekat kali di Jakarta.

Namun, kebiasaan itu mengendur seiring waktu. Via yang beranjak besar pun sadar bahwa besar kemungkinan Dewa Neptunus itu tidak ada, bahwa surat-suratnya sampai ke laut sudah dalam bentuk serpihan mikron yang tak lagi bermakna, atau bahkan tidak sampai sama sekali. Namun, Via juga tidak bisa menjelaskan bagaimana di lubuk hatinya ia masih ingin percaya. Ia tidak bisa menjelaskan bagaimana batinnya dibuat damai dengan menyaksikan perahu-perahu kertas itu hanyut terbawa air.

Pagi itu ia berdiri di tepi kali. Hiruk-pikuk kerumunan anak kampung dari pelosok gang berdengung di telinganya. Namun, Via tak terganggu. Matanya tak lepas mengamati aliran air cokelat di bawah kakinya. Perlahan, ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana. Sebuah perahu kertas. Via tidak ingat kapan terakhir ia menghanyutkan perahu di sana. Terlalu lama ia lupa tugasnya sebagai mata-mata dunia air. Entah kenapa, kepergiannya kali ini menggerakkan ia kembali menulis. Sebuah surat pendek berisi sebaris kalimat:

Nus,
Saya pindah ke Bandung. I’ll find my stream. 
Sampai ketemu.

Berbarengan dengan batu, kail, daun, dan segala yang dicemplungkan tangan-tangan kecil di sebelahnya, sebuah perahu kertas melaju tak terganggu.

***



Seorang anak SMP berambut gondrong tampak berlari dan bergegas memasuki pagar rumahnya yang terbuat dari kayu bercat putih. Garis-garis mukanya yang tegas dan runcing dikombinasikan dengan kulit putih tapi gosong kemerahan akibat terpaan sinar matahari membuatnya persis seperti turis peselancar di pinggir Pantai Kuta. Rumah asri yang terletak di daerah hijau di Jakarta Timur itu tampak lengang. Anak lak-laki itu melihat sekeliling dengan khawatir. Napasnya baru melega ketika mobil orangtuanya ternyata masih terparkir di dalam garasi. Langkahnya pun meringan saat ia membuka pintu.

“Ma! Alvin belum berangkat, kan?” tanyanya seketika, memastikan.

Ibunya tersenyum dan menggeleng. “Belum. Tapi kamu harus mandi dulu baru bisa ikut antar abangmu ke stasiun.”
Alvin melangkah keluar dari kamarnya dan nyengir melihat adiknya yang dekil bermandikan keringat. “Tapi jelek-jelek gitu, Ray banyak yang naksir, Ma.”

Muka Ray bersemu merah. Pikirannya melayang pada surat-surat dan foto-foto yang sering diselipkan di tasnya oleh cewek-cewek di sekolah, dan ia menebak-nebak mana yang kira-kira ditemukan oleh abangnya.

“Untung kamu tidak di sini, Vin. Mama sudah kayak resepsionis pribadi ngangkatin telepon buat dia,” celetuk ibunya lagi. Diam-diam ia mengamati kedua anak laki-lakinya yang terpaut jarak umur enam tahun, dan menyadari betapa berbeda keduanya. Ray yang ekstrover, atletis, diplomatis, senang bergaul dan berorganisasi, adalah cetak biru ayahnya. Sementara Alvin yang introver, halus, tidak menyukai keramaian, dan lebih senang menyendiri untuk melukis, adalah cetak biru dirinya. Namun, Alvin dan Ray saling menjaga dan mengagumi seperti magnet yang lekat erat. Bagi Ray, Alvin adalah idolanya nomor satu. Dan Alvin menyayangi Ray lebih dari apa pun. Ray seperti orang patah hati ketika Alvin harus pergi ke Amsterdam, dan kini ia harus melepas abangnya lagi untuk bersekolah di Bandung.

“Ma, aku bolos sehari, deh. Aku juga mau ke Bandung. Ketemu Mas Rio,” rengek Ray. Permohonannya sudah ditolak mentah oleh ayahnya, dan kini ia mencoba celah lain, yakni lewat ibunya.

Sayang, ibunya tetap menggeleng. “Nggak bisa, Ray. Kamu harus sekolah.”

“Mama yakin saya dijemput Rio?” tanya Alvin.

“Ya iyalah. Mama sudah telepon langsung ke Rio. Memangnya kenapa?”

“Saya nggak ingat mukanya, dia juga pasti sama. Kami terakhir ketemu kan  waktu SD!”

Ray langsung menyambar senang, “Nah, itu dia, Ma! Kalau aku ikut, aku nanti bisa kasih tahu Mas Rio yang mana.”

Ibu mereka tersenyum melihat usaha keduanya. Rio adalah sepupu Alvin yang sejak SMA bersekolah di Bandung dan kini mereka akan berkuliah di kampus yang sama. Semasa keduanya masih SD, sebelum Alvin berangkat ke Amsterdam, Alvin dan Rio bersahabat karib. Baru sekarang lagi mereka akan bertemu setelah terpisah sekian lama.

“Alasan kamu memang masuk akal, Vin. Tapi Rio sudah Mama pesankan untuk bawa tulisan nama kamu. Jadi, biarpun kalian tidak hafal muka, kalian pasti akan bertemu,” jawab ibunya sambil mengerling ke arah Ray.

Terdengar suara pintu kamar membuka, dan melangkahlah keluar ayahnya yang masih berkemeja dan dasi lengkap. Ia pun telah minta izin dari kantornya demi melepas Keenan ke Bandung.

“Semua barang kamu sudah siap, Vin?” tanyanya sambil meraih kunci mobil dari meja.

“Sudah, Pa.” Alvin berdiri di samping satu travel bag.

“Itu saja?”

“Sisanya dipaket ke Bandung,” timpal ibunya. Dan ujung matanya menunjuk ke sudut yang penuh sesak oleh tumpukan dus berisi alat lukis.

Ayahnya menghela napas. Riak pada air mukanya tidak bisa disembunyikan, dan Alvin melihatnya dengan jelas.

Ada suasana mendung yang seketika menggantung di ruangan itu. Satu demi satu pun melanjutkan kegiatannya masing-masing tanpa suara.

***



Bandung, Agustus 1999 ...

Tidak ada yang lebih dahsyat daripada gabungan gerimis hujan di luar dan selimut hangat di dalam kamar. Demikian prinsip Via Meringkuk di tempat tidur sepanjang sore sambil bermimpi indah adalah misinya sore itu. Sayangnya, ia lupa mengunci pintu.

Cahaya dari luar seketika menerangi kamarnya yang temaram. Langkah tergesa dan suara bernada tinggi mengacaukan suasana hening yang membungkus Via seperti kepompong.

“Vi! Bangun! Pergi, yuk!”

Selimut yang tampak menggunduk itu tak bergerak.

“Vi, Rio udah di depan. Si Fuad nggak bisa dimatiin, entar mogok. Yuk, cepetaaan!”

Via menyahut dengan gumaman tak jelas.

Ify terpaksa mengambil tindakan lebih ekstrem. Dengan gesit ia menyingkap selimut dan memercik-mercikkan air dari gelas di sebelah tempat tidur.

Via menghindar, gelagapan. “Penyerangaaan! Invasi ruang privaaat!”

“Nggak usah berlagak, deh. Ayo, bangun.”

Via terduduk dengan paksa, mata terpejam sebelah dan rambut semrawut. “Fy, berhubung kamar kita bakal sebelahan setidaknya dalam empat tahun ke depan, gua jelaskan satu aturan yang sangat penting, oke. Tidur siang adalah momen sakral buat gua. Bonus hujan, lagi! Harusnya lu masuk ke sini pun jalannya pake lutut dan sungkem dulu kekaki tempat tidur ....”

“Kita jemput sepupunya Rio ke stasiun, yuk. Jam lima keretanya nyampe. Lu mau pakai baju yang mana? Biar gua siapin,” Ify seperti tak mendengar khotbah penting Via.

Kedua mata Via terbuka. “Bentar ... bentar. Kenapa kok gua harus ikut? Itu kan sepupu si Rio, lu yang pacarnya si Rio, kenapa gua harus dilibatkan segala?” Via berseru putus asa.

“Soalnya ... Si Fuad ngadat lagi. Kalo mogok harus ada yang dorong. Untuk dorong kita butuh tenaga.”

Via menganga tak percaya, “Jadi ... gua dibangunin dari tidur suci gua untuk jadi cadangan tenaga ngedorong si Fuad?”

“Ya iyalah. Buat apa lagi?”

“Ngga sopan, bener-bener ngga sopan! Gua cuma dianggap kuli dorong mobil ...,” sambil menggerutu Via bangun.

“Mau pakai baju yang mana?”

“Yang ini!” Via menunjuk pakaian yang menempel di tubuhnya. Celana batik selutut yang sudah mengusam, dan kaus kegedean bertuliskan “Lake Toba” yang sudah tipis dan lentur seperti lap dapur.

“Yah, jangan gitu-gitu amat, dong, Vi. Lu ngambek, ya?”

“Oh, nggak. Gua cuma berdandan sesuai kasta gua aja. Kuli dorong mobil. Ayo cabut!” sahut Via seraya menyambar jaket jins di gantungan.

Ify memandang temannya dengan khawatir. Rambut sebahu Viasebagian naik ke atas seperti disasak setengah jadi. Bajunya mendekati compang-camping. Jaket jins kegombrongan milik Kiki yang digondol Via detik-detik terakhir sebelum dia berangkat ke Bandung itu pun tentu tidak membantu. Belum lagi, jam tangan plastik Kura-kura Ninja yang nyaris tak pernah lepas dari pergelangan tangannya. Lalu sandal khusus kamar mandi dari bahan plastic berwarna pink elektrik seolah menyempurnakan “keajaiban’’ penampilan Via sore itu.

Namun, Via berjalan mantap keluar menantang dunia, disambut Rio yang kontan meringkuk-ringkuk tertawa melihat pemandangan nyentrik itu.

“Vi! Lu kaya gembel baru gila! Keren!” teriak Rio sembari merogoh-rogoh ransel mencari kamera. “Siap ... satu, dua, tiga, pose!”

Dengan cepat Via langsung membengkungkan kedua lengannya seperti atlet binaraga.

“Sip. Gua cetak 5R, nanti gua pajang di mading kampus.” Rio tersenyum puas.

“10R lah, Yo. Standar majalah, dong.”

“Orang gila lu layanin, ya makin senanglah dia. Lihat tuh, mukanya hepi gitu ....” Ify menunjuk Via yang sedang mematut-matut diri di spion mobil Rio, mulai menyadari betapa aneh dandanannya, dan mulai tertawa-tawa bahagia tanda menikmati.

Melihat itu, Rio juga mulai khawatir. “Lu tahu betapa gua menghargai setiap liter bensin, kan, Vi? Dan gua nggak bisa matiin mesin mobil karena takut mogok. Tapi gua akan merelakan lima menit buat lu untuk ganti baju. Kalau lu mau,” kata Rio penuh penekanan. Dia sebetulnya sudah bisa menduga pilihan Via.

“Daripada bensin lima menit lu habiskan buat tunggu gua ganti baju, mendingan lu konversi jadi duit terus beliin gua minum. Jadi kuli gampang haus! Yuk!”

Jawaban tegas Via menuntaskan kontroversi sore itu, dan meluncurlah Fiat 124S kuning itu memecah air di atas jalanan Kota Bandung yang basah.

***



Lautan penumpang kereta api telah melewati tiga sekawan itu sejak sepuluh menit yang lalu, tapi mereka belum juga menemukan objek jemputannya. Ify dan Via sudah mulai resah.

“Lu yakin dia pakai kereta jam lima? Kok nggak muncul-muncul?” tanya Via pada Rio yang celingak-celinguk tiada henti.

“Gua yakin dia pakai kereta yang ini. Masalahnya, gua nggak tahu mukanya.”

“HAH?” teriak Via dan Ify hampir berbarengan.

“Kok kamu nggak bawa tulisan atau apa, kek?” cecar Ify.

Rio nyengir masam. “He-he, ketinggalan, Fy.”

“Ampun, deh! Kalau bilang dari tadi kan aku bisa cari kertas sama pulpen!” omel Ify.

“Tenang ... muka sepupuku tuh unik, kok ... pokoknya gimana, ya ... hmm ....”

“Kapan kalian terakhir ketemu?” tanya Via.

“Waktu SD,” Rio menjawab setengah menggumam.

Via dan Ify langsung berpandang-pandangan. Ify memutuskan untuk lanjut mengomel, sementara Via bergegas ke arah muka stasiun.

Dari jauh, Via membalikkan badan. “YO! Siapa nama sepupu lu?”

“Alvin!”

“ALVIN?”

Bersamaan dengan itu muncul serombongan orang yang menghalangi pandangan keduanya. Via berharap ia tak salah mendengar. “Alvin … Alvin … ,” ulangnya sendirian sambil terus berjalan.

Tak jauh dari sana, seseorang merasa namanya dipanggil. Alvin merasa sumbernya adalah perempuan yang sedang bergerak ke arahnya. Alvin mengamati dengan saksama. Ia yakin belum pernah berkenalan dengan cewek satu itu seumur hidupnya. Tepatnya, ia belum pernah menemukan orang dengan penampilan seaneh itu.

Ragu, Alvin mendekati, menjajarkan langkahnya dengan kaki kecil yang melangkah besar-besar dan terburu-buru. “Permisi ....”

Via berhenti, tertegun menatap orang yang tahu-tahu muncul di sampingnya dan kini mengadang persis di hadapan.

Alvin mengamati sekali lagi. Perempuan mungil setinggi dagunya, kelihatan seperti anak SMP, gaya berbusana tidak ada juntrungnya, rambut seperti orang baru kesetrum, kedua mata membelalak seperti mengancam. Mendadak Alvin menyesal telah memanggil.

“Ada apa, ya?” tanya Via dengan suara dibesar-besarkan. Berusaha sangar.

Setengah mati Alvin menahan senyum gelinya yang spontan ingin membersit. Ternyata ia berhadapan dengan anak kucing yang berusaha jadi singa.

“Nggak pa-pa. Saya salah mengenali orang. Saya pikir tadinya kamu ... emm ... maaf, ya.” Alvin mulai bingung menjelaskan, dan akhirnya hanya tersenyum lebar lalu ambil langkah seribu. Namun, dalam hati ia tahu, ia tidak akan pernah melupakan wajah itu.

Via pun hanya mengangguk kecil, lalu berjalan lagi ke arah bilik informasi yang menjadi tujuannya. Napasnya baru lepas setelah ia yakin orang itu sudah hilang jauh di balik punggungnya. Sejujurnya, ia tidak keberatan salah dikenali. Laki-laki tadi adalah makhluk tertampan yang pernah ia temui sejak tokoh Therrius dalam komik Candy-Candy. Namun, harus selalu waspada dengan semua makhluk sok akrab, tegas Via dalam hati. Lebih baik konsentrasi mencari sepupu Rio nan malang, ia pun memotivasi diri. Berusaha melupakan apa yang baru ia lihat.

#bersambung

Perahu Kertas (01) Jalan yang Berputar


Jalan yang Berputar

Amsterdam, Juni 1999 ...

Tidak ada alasan untuk meninggalkan Amsterdam pada musim panas. Inilah masa terbaik untuk bersepeda di sekitar Leidseplein dan Dam Square sambil menikmati sinar matahari yang merupakan surga tahunan bagi warga kota. Ia masih ingin duduk di pinggir pantai Blomendahl berbekal kanvas dan alat lukis, atau menikmati koffie verkeerd (Kopi susu atau café latte) di salah satu kafe di 9 Straatjes dari pagi hingga sore bersama buku sketsanya.

Sambil mengosongkan baris terakhir bukunya dari rak yang bergantung di samping tempat tidur, pertanyaan yang sama seminggu terakhir ini berulang dalam kepalanya: umurku baru jalan delapan belas, tapi kenapa aku merasa terlalu lelah untuk semua ini?

Pintu di balik punggungnya berderit pelan.

Nee (tidak), Alvin. Jangan bebani kopermu dengan buku. Biar Oma yang kirim semua bukumu ke Jakarta.”

Alvin tersenyum tipis, urung membereskan buku-buku tadi. Hatinya terusik. Oma mengatakan itu seolah-olah ia tak akan pernah kembali ke rumah ini.

Alvin tahu saat ini akan hadir tak terelakkan. Hanya keajaiban yang bisa membatalkannya kembali ke Indonesia. Bertahun-tahun, Alvin berharap dan berdoa keajaiban itu akan datang. Keajaiban tak datang-datang. Hanya sesekali telepon dari Mama yang memuji sketsa-sketsa yang ia kirim, tanpa ucapan tambahan yang menyiratkan kalau ia bisa terus tinggal di Amsterdam, menemani Oma yang berjuang agar tidak digusur ke panti jompo karena dianggap terlalu tua untuk hidup sendiri, melukis di salah satu bangku di Vondelpark, tumbuh besar menjadi seniman-seniman yang ia kagumi dan banyak berseliweran di kota ini.

Keajaiban yang dimiliki Alvin punya tanggal kedaluwarsa. Cukup enam tahun saja. Orangtuanya bertengkar hebat seminggu sebelum akhirnya memutuskan bahwa ia, anak pertama mereka, dilepas ke negeri orang. Padahal Alvin tidak merasa di negeri orang. Bukankah di kota ini mamanya dilahirkan dan menjadi pelukis, sampai akhirnya pergi ke Indonesia dan berhenti menjadi pelukis? Alvin tidak tahu persis apa yang terjadi. Bagaimana mungkin orangtuanya, sumber dari bakat melukis yang mengalir dalam darahnya, justru ingin memadamkan apa yang mereka wariskan?

Papa khawatir Amsterdam akan menghidupkan seorang seniman dalam diri anaknya. Kenapa Papa takut? Alvin dulu bertanya. Karena otakmu terlalu pintar untuk cuma jadi pelukis, jawab ayahnya. Alvin pun bertanya-tanya, haruskah dia mulai menyabotase nilai-nilainya sendiri di sekolah agar papanya keliru? Tapi, untungnya, sebelum itu terjadi, Papa dan Mama sepakat. Dia diizinkan bersekolah di Amsterdam untuk enam tahun. Hanya enam tahun.

Dua ribu lebih hari berlalu dan Alvin merasa enam tahun sesingkat kedipan mata.

“Mungkin ini saja yang sebaiknya kamu bawa, vent (panggilan untuk anak laki-laki),” Oma menyerahkan dua buah buku bertuliskan 2500 Latihan Soal UMPTN, “supaya jij (kamu) bisa belajar di pesawat.”

Ja (ya)Oma.” Alvin menyambut dua buku tebal itu dan berencana untuk meninggalkannya di kolong tempat tidur begitu Oma keluar kamar nanti.

“Oma tunggu kamu di meja makan, ya.” Perempuan tua itu berdiri, membereskan blus motif paisley-nya yang berkerut, mengencangkan jepit yang mencapit rambutnya yang sudah putih tapi masih lebat. Oma tersenyum. Keriput tidak menyusutkan kecantikan dari wajahnya. Oma sangat mirip Mama. Alvin mendadak merasakan kangen yang menjadikan kepulangannya ke Jakarta tidak terlalu buruk.

“Oma jadi masak?”

Bruinebonen soep (sup kacang merah) dan kaas brodje (roti keju). Sesuai pesananmu. Oma kan niet ferget (tidak bisa lupa), vent. Oma selalu pegang janji.”

Satu malam pada musim dingin pertamanya di rumah ini, pemanas rumah mereka rusak. Oma mendekapnya dan membungkusnya dalam selimut tebal. Mereka berdua bertahan seperti itu di sofa. Menunggu pagi. Untuk pertama kalinya juga mereka merasakan kedekatan seperti dua sahabat yang saling menjaga. Malam itu, Oma janji tidak akan menangis kalau satu saat Alvin pulang ke Indonesia. Dan Alvin pun ikut berjanji tanpa tahu betapa beratnya memegang janji itu.

Alvin memandangi neneknya yang berjalan menuju meja makan. Sudut mulut Oma selalu tampak tersenyum dan membuat air mukanya selalu ramah, langkahnya masih tegap meski memelan setahun belakangan ini. Dari celah pintu yang sedikit membuka, Alvin memandangi Oma membereskan taplak meja yang sudah rapi dan duduk menatap sup kacang merah yang mengepul di wajahnya. Sekalipun samar, Alvin dapat melihat mata tua itu berkaca-kaca, dan dalam gerakan cepat Oma tampak menyusut sesuatu dari ujung matanya.

Alvin menutup pintu kamar. Tak lama, seluruh ruangan itu tampak kabur. Berkali-kali Alvin mengerjapkan mata, tapi air di pelupuknya seperti tidak bisa berhenti.

***



Jakarta, Juli 1999 ...

Cewek bertubuh mungil itu tak henti-hentinya bergerak, berjingkat, kadang melompat, bahkan kakinya menendangi udara. Padahal kegiatannya hanyalah mengemas buku ke dalam dus, tapi dia memutuskan untuk mengombinasikannya dengan berjoget.

Kupingnya tersumbat earphone yang mengumandangkan musik new wave koleksi abangnya. Dia baru lulus SMA sebulan yang lalu, tapi selera musiknya sama dengan anak SMA lima belas tahun yang lalu. Semua orang selalu bilang, yang namanya Via itu luarannya doang up-to-date, tapi dalamannya out-of-date. Yang dikatai malah cuek cenderung bangga. Via tetap bersikeras bahwa musik tahun ’80, terkecuali fashion-nya, sangat keren dan genius.

“Karma-karma-karma-karma-karma Chameleon ... you come and go ... you come and gooo ...” Via mengipas-ngipas sebuah buku sambil menandak-nandak. Ia berusaha keras tidak melihat cermin karena kelebatan bayangannya saja sudah membuat ia ingin terpingkal-pingkal. Jelek banget,decaknya. Terkagum-kagum sendiri.

Dari luar, adik perempuannya, Keshia, mengetuk-ngetuk pintu. Setelah semenit tidak ada hasil, Keshia yang tidak sabar mulai menggedor-gedor.

“Via! Woooi! Ada telepon, tuh!”

Ada suara dewasa berceletuk pelan dari belakang, “Kak Via.” Terdengar penekanan pada kata ‘‘Kak’’.

Keshia melirik ibunya sambil melengos. Beliau tidak bosan-bosannya mengingatkan untuk memanggil Via dengan tambahan ‘kak’. Masalahnya, kelakuan kakak perempuannya yang satu itu kurang layak untuk menyandang title ‘‘kakak’’.

Pintu penuh stiker di hadapan Keshia membuka. Via melongok dengan sebelah earphone-nya menjuntai. Bukannya buru-buru mengangkat telepon, dia malah menengok ke ibunya dulu, “Ma, gimana kalau aku ganti nama jadi Karma? Kan tetap dari ‘K’. Jadi nggak menyalahi aturan rumah ini.”

Keshia ikut menengok ke ibunya dengan tatapan putus asa, “Tuh, kan, Ma? Dia aneh banget, kan?”

Ibunya hanya mengangkat bahu sambil terus membaca. “Punya anak lima saja manggilnya suka ketukar-tukar, apalagi ada yang mau ganti nama. Malas, ah. Nanti saja kalau Mama sudah tua, sudah pikun. Jadi nggak ngaruh. Mau Karma, kek, mau Karno ... terserah.”

Keshia dibuat melongo. Dia mulai menyadari dari mana keanehan Via itu berasal.

Dengan logat British yang dibuat-buat, Via menjawab telepon. “Karma Chameleon speaking. Who is this?”

Ada beberapa detik kosong sampai terdengar jawaban dari ujung telepon. “Vi? Ify, nih. Emang lu sangka siapa yang nelepon? Ratu Inggris?”

Mendengar suara Ify, mata Via langsung berbinar. Ify adalah sahabatnya sejak kecil. Dialah orang yang paling menunggu-nunggu Via selesai berkemas supaya bisa langsung cabut ke Bandung. Ify juga orang yang paling repot, persis seperti panitia penyambutan di kampung yang mau kedatangan pejabat tinggi. Dia yang mencarikan tempat kos bagi Via, menyiapkan jemputan, bahkan menyusun daftar acara mereka selama seminggu pertama. Singkatnya, Ify adalah seksi sibuknya.

“Jadi ke sini, nggak? Entar kamar kos lu keburu gua lego ke orang lain!” Suara Ify yang melengking tajam begitu kontras menggantikan suara Boy George yang halus dari kuping Via.

“Santailah sedikit, Bu Ify. Legalisasi STTB ke sekolah aja gua belum sempat ....”

“HA? Orang lain tuh sudah dari berabad-abad yang lalu legalisasi STTB-nya, tahu!”

“Itu jelas nggak mungkin. Yang namanya STTB baru ada waktu angkatan abang gua sekolah ....”

“Kapan mulai beres-beres, Vi? Buku-buku lu yang banyak banget itu dipaket aja ke Bandung, nggak usah bawa sendiri. Bagasi mobilnya Rio kan kecil, nanti nggak bakal muat. Lu bawa baju-baju aja, ya? Tiket kereta api udah pesan, belum? Lagi penuh lho. Ntar terpaksa beli di calo. Sayang duit.”

“Fy, lu tuh lebih cerewet dari tiga nyokap gua dijadiin satu. Serius.”

“Minggu depan, pokoknya nggak mau tahu, lu harus udah sampai di Bandung. Mobil Rio udah gua suruh masuk bengkel dulu biar nggak mogok pas ngejemput lu ke stasiun. Habis itu kita langsung keliling buat belanja kebutuhan lu. Kamar lu udah gua sapu-sapu dari kemarin. Pokoknya tahu beres, deh.”

 “Tapi lu juga lebih rajin dari tiga pembantu gua dijadiin satu.”

“Dasar anak gila!”

“Kurang ajar lagi ....”

“Iya! Kurang ajar!”

“Gimana sih, gua. Payah banget.”

Ify tiba-tiba tertawa. “Kok lu jadi marahin diri lu sendiri!”

“Iya, ya?” Via ikut tertawa. “Supaya menghemat energi lu, Fy. Kan lu udah capek bantuin gua. Udah capek ngurusin si Rio dan Fuad-nya yang ngadat melulu itu ...”

“Emang! Kadang-kadang mending nge-date pake sepeda kumbang daripada Fiat kuning itu. Lebih sering si Fuad mogok daripada si Kombi kawin.”

“Wuahahaha! Parah banget, dong! Mending kalo Fuad bisa beranak, minimal kalian bisa jadi peternak Fiat…” Via tergelak-gelak. Komba dan Kombi adalah pasangan hamster peliharaan Ify dan pacarnya, Rio. Pasangan Komba dan Kombi ini tidak henti-hentinya beranak sampai-sampai Ify dan Rio sempat punya profesi baru yakni pedagang hamster.

“Ya udah, minggu depan pokoknya gua tunggu di Bandung, ya. Jangan lupa: STTB, pesan tiket KA,packing, paketin buku-buku lu, payung lipat yang dulu lu pinjam, jaket jins gua—masih di lu kan, ya? Terus ...”

Via menjauhkan gagang telepon sebentar dari kupingnya, menunggu sayup suara Ify selesai bicara sambil pindah-pindah saluran teve.

“Vi? Udah dicatat semua? Via?”

Via buru-buru menyambar telepon kembali. “Siap! Sampai ketemu minggu depan, ya!”

Saat pembicaraan telepon itu usai, Via terkikik-kikik sendiri. Sahabatnya yang satu itu memang luar biasa. Keluarganya sendiri bahkan tidak usah repot mengurus ini-itu ketika Via harus bersiap kuliah di Bandung. Ify membereskan hampir segala persiapan Via dengan baik dan sukarela. Dari mereka kecil memang selalu begitu. Orang-orang bilang, Ify seperti mengasuh adik, padahal mereka seumuran.

Ify yang anak tunggal dan Via yang dari keluarga besar adalah sahabat karib yang saling melengkapi sejak TK. Kedua ayah mereka sama-sama merintis karier di perusahaan yang sama, dan hubungan kedua keluarga itu terjalin akrab semenjak hari pertama mereka berjumpa. Seperti disengaja, kedua ayah mereka pun selalu ditugaskan berbarengan.

Ify dan Via tumbuh besar bersama, selalu tinggal di kompleks perumahan yang sama, pindah dari satu kota ke kota lain hampir selalu bersamaan: Ujungpandang, Balikpapan, Bontang, dan berakhir di Jakarta saat mereka kelas 1 SMP. Pada tahun itu, untuk pertama kalinya mereka berpisah. Ayah Ify yang duluan pensiun, memilih tinggal di Subang untuk menghabiskan hari tuanya, dan Ify kemudian disekolahkan di Bandung. Sementara ayah Via tetap tinggal di Jakarta bersama keluarganya.

Meski Ify selalu tampak lebih dewasa dan teratur ketimbang Via yang serampangan, sesungguhnya Via memiliki keteguhan yang tidak dimiliki Ify. Sejak kecil, Via tahu apa yang dia mau, dan untuk hal yang ia suka, Via seolah-olah bertransformasi menjadi sosok yang sama sekali berbeda.

Pilihannya mengambil jurusan Sastra adalah buah dari cita-citanya yang ingin jadi penulis dongeng. Pilihannya kuliah di kota lain adalah buah dari khayalannya untuk hidup mandiri. Di luar dari perilakunya yang serba spontan, Via merencanakan dengan matang perjalanan hidupnya. Ia tahu alasan di balik semua langkahnya, dan benar-benar serius menangani impiannya.

Dari SD, Via rajin menabung, dan semua hasil tabungannya dibelikan buku cerita anak-anak, dari mulai cergam stensilan sampai buku dongeng klasik yang mahal. Kemudian investasi itu ia putarkan lagi melalui usaha penyewaan, sampai bukunya terus bertambah banyak. Jadilah Via pemilik taman bacaan termuda di kompleksnya, sekaligus yang tergalak. Seperti predator di hutan rimba, ia memburu para penyewa ‘‘nakal’’ dengan sepeda mininya, hingga mereka tersudut dan tidak ada cara lain agar berhenti dikejar-kejar selain mengembalikan buku.

Via melakoni dengan tekun segala kegiatan yang ia anggap menunjang cita-citanya. Via menjadi Pemimpin Redaksi majalah sekolah dari mulai SMP sampai SMA. Ia dikenal sebagai pionir dengan ide-ide segar bagi kehidupan bulletin sekolah, ia nekat memburu para figur publik betulan  untuk diwawancarai dengan pendekatan yang profesional, yang lalu dituangkan ke dalam bentuk artikel yang serius. Dengan rajin ia mengikuti segala perlombaan menulis di majalah-majalah, lalu bekerja sebaik dan sekeras mungkin, untuk akhirnya keluar menjadi juara. Sampai-sampai Via hafal juri-juri mana yang biasa dipakai dan bagaimana seleranya.

Tidak semua orang menganggap menjadi penulis dongeng layak disebut sebagai cita-cita. Via juga tahu itu. Semakin ia beranjak besar, Via sadar bahwa sebuah cita-cita yang dianggap layak sama dengan profesi yang pasti menghasilkan uang. Penulis dongeng bukan salah satunya. Untuk itu, sepanjang hidupnya Via berupaya membuktikan bahwa ia bisa mandiri dari buku dan menulis.

Dalam kamarnya yang bergabung dengan taman bacaan di loteng rumah, Via menyusun balok demi balok mimpinya. Suatu hari ia bukan hanya seorang kolektor buku dongeng. Ia akan menulis dongengnya sendiri, kendati jalan yang ditempuhnya harus berputar-putar.

#bersambung

Perahu Kertas (Sinopsis)


Sinopsis "Perahu Kertas"

Kisah ini dimulai dengan Alvin, seorang remaja pria yang baru lulus SMA, yang selama enam tahun tinggal di Amsterdam bersama neneknya. Alvin memiliki bakat melukis yang sangat kuat, dan ia tidak punya cita-cita lain selain menjadi pelukis, tapi perjanjiannya dengan ayahnya memaksa ia meninggalkan Amsterdam dan kembali ke Indonesia untuk kuliah. Alvin diterima berkuliah di Bandung, di Fakultas Ekonomi.

Di sisi lain, ada Via, cewek unik cenderung eksentrik, yang juga akan berkuliah di universitas yang sama dengan Alvin. Sejak kecil, Via menggila-gilai dongeng. Tak hanya koleksi dan punya taman bacaan, ia juga senang menulis dongeng. Cita-citanya hanya satu: ingin menjadi juru dongeng. Namun Via sadar bahwa penulis dongeng bukanlah profesi yang meyakinkan dan mudah diterima lingkungan. Tak ingin lepas dari dunia menulis, Via lantas meneruskan studinya di Fakultas Sastra.

Via dan Alvin dipertemukan lewat pasangan Rio dan Ify. Rio adalah sepupu Alvin, sementara Ify adalah sahabat Via sejak kecil. Terkecuali Ify, mereka semua hijrah dari Jakarta, lalu berkuliah di universitas yang sama di Bandung.Mereka berempat akhirnya bersahabat karib.

Lambat laun, Via dan Alvin, yang memang sudah saling mengagumi, mulai mengalami transformasi. Diam-diam, tanpa pernah berkesempatan untuk mengungkapkan, mereka saling jatuh cinta. Namun kondisi saat itu serba tidak memungkinkan. Via sudah punya kekasih, cowok mentereng bernama Cakka, alias Okka (panggilan yang dengan semena-mena diciptakan oleh Via). Sementara Alvin saat itu dicomblangkan oleh Ify dan Rio dengan seorang kurator muda bernama Angel.

Persahabatan empat sekawan itu mulai merenggang. Via lantas menenggelamkan dirinya dalam kesibukan baru, yakni menjadi guru relawan di sekolah darurat bernama Sakola Alit. Di sanalah ia bertemu dengan Pilik, muridnya yang paling nakal. Pilik dan kawan-kawan berhasil ia taklukkan dengan cara menuliskan dongeng tentang kisah petualangan mereka sendiri, yang diberinya judul: Jenderal Pilik dan Pasukan Alit. Via menulis kisah tentang murid-muridnya itu hampir setiap hari dalam sebuah buku tulis, yang kelak ia berikan pada Alvin.

Kedekatan Alvin dengan Angel yang awalnya mulus pun mulai berubah. Alvin disadarkan dengan cara yang mengejutkan bahwa impian yang selama ini ia bangun harus kandas dalam semalam. Dengan hati hancur, Alvin meninggalkan kehidupannya di Bandung, dan juga keluarganya di Jakarta. Ia lalu pergi ke Ubud, tinggal di rumah sahabat ibunya, Pak Dayat.

Masa-masa bersama keluarga Pak Dayat, yang semuanya merupakan seniman-seniman sohor di Bali, mulai mengobati luka hati Alvin pelan-pelan. Sosok yang paling berpengaruh dalam penyembuhannya adalah Shilla Tiara, keponakan Pak Dayat. Alvin mulai bisa melukis lagi. Berbekalkan kisah-kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit yang diberikan Via padanya, Alvin menciptakan lukisan serial yang menjadi terkenal dan diburu para kolektor.

Via, yang juga sangat kehilangan sahabat-sahabatnya dan mulai kesepian di Bandung, menata ulang hidupnya. Ia lulus kuliah secepat mungkin dan langsung bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta sebagai copywriter. Di sana, ia bertemu dengan Gabriel, atasannya sekaligus sahabat abangnya. Via meniti karier dengan cara tak terduga-duga. Pemikirannya yang ajaib dan serba spontan membuat ia melejit menjadi orang yang diperhitungkan di kantor itu.

Namun Iyel melihat sesuatu yang lain. Ia menyukai Via bukan hanya karena ide-idenya, tapi juga semangat dan kualitas unik yang senantiasa terpancar dari Via. Dan akhirnya Iyel harus mengakui bahwa ia mulai jatuh hati. Sebaliknya, ketulusan Iyel juga akhirnya meluluhkan hati Via.

Sayangnya, Alvin tidak bisa selamanya tinggal di Bali. Karena kondisi kesehatan ayahnya yang memburuk, Alvin terpaksa kembali ke Jakarta, menjalankan perusahaan keluarganya karena tidak punya pilihan lain.

Pertemuan antara Via dan Alvin tidak terelakkan. Bahkan empat sekawan ini bertemu lagi. Semuanya dengan kondisi yang sudah berbeda. Dan kembali, hati mereka diuji. Kisah cinta dan persahabatan selama lima tahun ini pun berakhir dengan kejutan bagi semuanya. Akhirnya setiap hati hanya bisa kembali pasrah dalam aliran cinta yang mengalir entah ke mana. Seperti perahu kertas yang dihanyutkan di parit, di empang, di kali, di sungai, tapi selalu bermuara di tempat yang sama. Meski kadang pahit, sakit, dan meragu, tapi hati sesungguhnya selalu tahu.

Diwarnai pergelutan idealisme, persahabatan, tawa, tangis, dan cinta, “Perahu Kertas” tak lain adalah kisah perjalanan hati yang kembali pulang menemukan rumahnya.

#bersambung

Aku Mati Memeluk Boneka [Chapter 1 ] *Mau main denganku...?*


Mau Main denganku?
SEORANG pemuda tengah berbaring di atas kasur. Kedua siku tangannya menyangga sebuah majalah bersampul personel korn yang hampir menutupi tulisan  PLANET MUSIC. Majalah itu nyaris menenggelamkan wajahnya. Sesekali tangan kirinya mendekat ke tangan satunya untuk membuka halaman.
LCD sedang memutar  I Stand Alone seolah membuat poster-poster penyanyi rock yang menempel di dinding berjingkrak jingkrak sambil berteriak. Di sisi kanan LCD terdapat tumpukan buku. Semuanya tersusun rapi sesuai dengan jenis-jenis buku. Tiba-Tiba  portable sound yang menyuarakan  Godsmackterganggu dengan gelombang ponsel. Sebuah pesan masuk....
Pemuda itu tak menghiraukannya. Ia lebih tertarik pada cangkir kopi yang sudah terasa dingin. Namun,aromanya masih tercium saat ia mendekatkan mulutnya ke bibir cangkir. Barulah dengan malas ia mengambil ponselnya. Ada sebuah pesan muncul di ponselnya. Tanpa Pengirim

 ‘Nang ning nang gung. Namaku Putri,Usiaku 7 tahun.                                                                                                                                                                         
  Tahun 1967 seluruh keluargaku mati di bantai.                                                                                                                                                                            
 Aku mati saat memeluk boneka.
 Temani aku malam ini.                                                                                                                                                                
 Jika tidak mau,   kirim pesan ini ke tujuh nomor lain.’


Pemuda itu menatap salah satu poster di dindingnya. Seolah poster tersebut ikjut memberi komentar:  mengancungkan jari tengah ke depan hidung! Pemuda itu setuju dan menggap pesan itu adalah lelucon paling konyol yang pernah di terimanya. Mana mungkin tahun 1967 sudah ada sms, pikir konyolnya.
Dan lelucon itu membuat kerongkongannya menjadi kering.  Sedangkan air di botol mineralnya sudah habis di tenghaknya tadi. Dengan agak kesal ia membuka pintu kamarnya, turun ke bawah mengambil air di galon.
Lampu di ruang bawh padam. Hanya ada sorot lampu dari teras menerobos kaca jendela. Kelambunya yang tipis cukup untuk melihat pemandangan di luar.  Cahaya itu membantu matanya untuk menemukan galon..
Ada sepasang mata di balik kaca jendela. Ada Seorang anak berwajah pucat sedang berdiri di teras, Mengawasi dirinya! Ia mencoba memperhatikan dengan detai lagi,Namun  ia segera menyimpulkan bahwa itu adalah gerakan dedaunan yang menciptakan bayangan.

Tiga tegak air Cukup membasahi kerongkongannya. Ia mengisi botol air mineralnya,agar jika nanti ia merasa haus lagi, dirinya tidak perlu turun untuk yang kedua kalinya. Ada Sesuatu aneh kembali di lihatnya. Kali ini lebih jelas.                                                                                                    

   Ia Melihat Seorang gadis kecil sedang berdiri di balik kelambu sambil mendekap boneka. Bulu kuduknya merinding,Tapi setelah diamatinya lebih teliti lagi, itu hanyalah kelambu yang tertiup angin                                                                                                                    
    Ia Menggelengkan kepala. Dirnya menyimpulkan bahwa akhir-akhir ini kurang tiur. Itulah barangkali yang membuat sepasang matanya gak kacau dan otaknya mencitrakan hal-hal yang sama kacaunya. Namun, perasaanya makin tidakk dapat dipungkiri perasaan membuat bulu kuduknya kembali merinding
   Terlebih lagi saat kakinya menginjak seseuatu di tangga. Padahal, dirinya tak mendapati ada seseuatu di tangga saat menuruninya tadi. Ketika ia mencoba melihat benda itu dan mengambbilnya, ia tersentak!                                                                                                                                           
   Ia menemukan sebuah Tangan,tangan boneka! Padahal ia tidak pernah melihat ada anak kecil yang suka bermain boneka di rumah ini. Pikirannya seketika menghubung-hubungkan seseuatu di balik jendela dengan pesan yang di terimanya tadi. Bisa jadi ibunya yang sering membawa anak tetangga kerumah ini,menjatuhkan mainan
   Otaknya segera memberikan ide untuk segera ke kamar dan menguncinya dari dalam. Dan pemuda itu bergegas menuju kamar untuk melupakan kejadian malam ini, Kejadian yang membuat kepalanya pusing dan bulu kuduknya merinding                                                                                    
Di kuncinya Pintu kamar, Ada pesan baru lagi muncul di ponselnya. Nomor  sama dengan sebelumnya. Jantung lelaki itu berdegup kencang, Darahnya terasa mengalir di balik kulit. Leher belakangnya terasa tertiup saat membaca pesan:

Mau main?

    Bahu pemuda itu turun naik dengan ritme yang cepat, Bola matanya bergerak menelusuri ruangan, Jangan-jangan ia menemukan seseuatu yang aneh. Lalu ia menarik selimut menutupi wajahnya di dalam selimut, cepat-cepat ia memforward pesan pertama. Ia mengirim nomor lainnya semua pending.  Sebuah pesan kembali masuk:

Sudah terlambat. Temani aku

      Lelaki itu berbaring sambil merapatkan punggungnya ke tembok. Selimut masih menutup seluruh tubuhnya. Tiba-tiba ia merasa yakin bahwa di bawah kolong tempat tidurnya ada gadis kecil yg sedang menggesekan boneka ke lantai. Ia mencoba  mengintip dari balik selimut Tidak terjadi apa-apa lama ia menunggu, tetapi tidak ada sesuatu yang janggal terterjadi. Sebagai lelaki, pikirnya, ia harus bisa melewati malam ini dengan penuh kejantanan. Sebab ini semua hanyaah lah perasaan takut semata.
   Kalau begitu, pikirnya lagi, ia harus memastikan indra penglihatannya bahwa di bawah kolong tempat tidurnya tidak ada apa-apa. Pelan-pelan ia mencoba menarik selimut dari kepalanya . lantas ia mencoba merayapkan  kepalanya kepinggir kasur,
Tanpa di sadari, napasnya tertahan ketika hidungnya mendekati pinggiran kasur. Satu gerakan lagi ia akan bisa melihat isi kolong itu. Kulit di bawah sepasang alisnya terangkat ke atas, membuat sepasang matanya terbelakak, jantungnyamengiringi irama napas yang tadi tertahan. Bulu roma di sekujur tubuhnya pun ikut bergetar..
   Tiga. Dua. Ia menghentinkan napasnya sambil menghitung mundur sebagai ancang-ancang. Satu! Ia belum juga melakukannya. Hidungnya masih melekat di pinggir kasur. Nol! Barulah kepala lelaki itumenggantung mekihat isi di kolong tempat tidurnya.

    Perasaan ternyata lebih menakutkan dari pada kenyataan, Akhirnya ia sadar bahwa perasaanya dapat di balik dengan kenyataan yang di tunjukan oleh indra. Termasuk perasaan takutnya. Dilihatnya sekali lagi poster di dindingnya yang sedang mengancungkan jari tengah  ke depan hidung. Ia masih menikmati kelucuan sikapnya dengan kepalanya menggantung di kolong tempat tidur. Ia menyesal telah meneruskan pesan tersebut ke tujuh nomor lain.
   Lehernya terasa pegal juga ketika harus berposisi seperti itu,ia menarik tubuhnya kembali ke tengah kasur. Tapi, kali ini indranya tidak dapat membohongi apa yang ada di sampingnya. Seorang gadis berwajah pucat tersenyum dengan ganjal di sampingnya, Gadis itu mengulurkan boneka yang salah satu bagian tangannya hilang
“Aaaaaaaaaaaaaa!”

Sipnopsis "Aku Mati Memeluk Boneka" -Versi IC-


SIPNOPSIS..
                           “...Temani aku malam ini.                                                                                                         
     Jika tidak mau, kirim pesan ini ke tujuh nomor lain..”   

         Satu persatu dari mahasiswa universitas terkenal di Malang mati secara tragis. Peristiwa Terjadi pada acara diklat UKM di hutan Coban Talun.                   Kabar ini tersiar ke media massa yang segera mem-blow-up  berita. Rio, yang menjadi ketua panitia,dan beberapa orang anggota panitia shock  atas kejadian ini. Ada isu   yang menyebutkan peristiwa ini di sebabkan teror maut yang di lakukan arwah penasaran gadis pembawa boneka


Untuk menguak kebenaran dan latar belakang di balik peristiwa ini,   Rio,Ify,Gabriel, dan beberapa kawan yang selamat menyelidikinya. 
Mereka menemukan kenyataan yang janggal..      
          Berhasilkah,  Rio,Ify,Gabriel, dkk. Menguak kebenarannya dan selamat dari incaran gadis pembawa boneka yang kejam?

40 Fakta Dunia Terlucu

1. Coca-cola dulu berwarna hijau.
2. Nama yang paling umum digunakan di dunia adalah Mohammed.
3. Dalam bahasa inggris, semua nama benua diawali dan diakhiri dengan huruf vokal yang sama.
4. Otot terkuat yang ada di badan kita adalah lidah.
5. Setiap orang di USA punya 2 kartu kredit!
6. TYPEWRITER adalah kata terpanjang yang dapat diketik dalam satu baris tuts keyboard anda.
7. Perempuan ngedip dua kali lebih banyak dari pada laki-laki.
8. Menahan nafas tidak akan membuatmu mati.
9. Setiap manusia tidak dapat menjilat siku tangannya sendiri.
10. Kalau ada orang mengucapkan doa setiap kali ada yang bersin karena memang setiap kali kau bersin, jantungmu berhenti satu milisecond.
11. Secara fisik, setiap babi tidak bisa melihat ke langit.
12. Ucapkan “sixth sick sheik’s sixth sheep’s sick� beberapa kali, nanti anda akan mahir berbahasa inggris!
13. Bersin terlalu keras dapat mematahkan tulang iga, memutuskan pembuluh darah di kepala atau leher dan mengakibatkan kematian.
14. Setiap raja dalam kartu remi melambangkan raja-raja besar jaman dahulu kala:

Raja sekop - Raja Daud
Raja keriting - Alexander Agung
Raja hati - Raja Charlemagne
Raja wajik - Julius Caesar

15. 111,111,111 x 111,111,111 = 12,345,678,987, 654,321
16. Kalau ada patung orang naik kuda dan dua kaki depan kuda itu naik di udara, itu tandanya orang itu mati dalam perang.
17. Kalau kaki kudanya cuma satu yang diangkat berarti orang itu cuma terluka dalam perang.
18. Kalau semua kaki kudanya menjejak tanah, berarti orang itu meninggal karena sakit.
19. Apa persamaan rompi anti peluru, printer laser, tangga darurat dan wiper mobil? Jawabannya: semua ditemukan oleh perempuan! Hah!
20. Satu-satunya makanan yang tidak bisa busuk? Jawaban: madu.
21. Buaya nggak bisa melet lidah.
22. Siput bisa tidur selama 3 tahun.
23. Semua beruang kutub KIDAL!
24. American Airlines menghemat $40,000 tahun 1987 dengan cara mengurangi 1 buah olive dari setiap piring salad yang mereka sajikan untuk penumpang kelas 1.
25. Indera perasa kupu-kupu ada di kaki.
26. Gajah adalah satu-satunya hewan yang tidak bisa lompat.
27. Selama 4000 tahun belakangan ini, jenis hewan yang dipelihara di rumah cuma itu-itu saja.
28. Rata-rata manusia lebih takut pada laba-laba daripada kematian.
29. Shakespeare menemukan kata: “Assassination� dan “bump�
30. Dengan menggunakan cara mengetik 10 jari, STEWARDESSES adalah kata terpanjang yang bisa diketik hanya dengan jari-jari tangan kiri.
31. Semut selalu jatuh ke kanan setiap kali disemprot cairan anti hama
32. Kursi listrik ditemukan oleh seorang dokter gigi
33. Jantung manusia dapat menyemprotkan darah sejauh 30 kaki.
34. Dalam 18 bulan, 2 ekor tikus bisa punya lebih dari sejuta anak tikus!
35. Memakai headphone selama satu jam dapat menstimulasi perkembangan bakteri dalam telinga sebanyak 700 kali lipat!
36. Pemantik ditemukan sebelum korek api.
37. Setiap lipstik mengandung sisik ikan.
38. Seperti sidik jari, lidah manusia pun mempunyai kontur yang berbeda-beda.
39. 99% orang yang membaca tulisan ini mencoba mengalikan fakta no. 15
40. Dan akhirnya, 99% orang yang baca tulisan ini pasti mencoba menjilat siku

up