Perahu Kertas (03) Mother Alien

Mother Alien

Ify dan Rio, yang mulai putus asa menunggu di tempat sama, akhirnya berjalan ke teras depan stasiun. Suasana mulai lengang, tinggal segelintir orang yang tersisa.

“Aku coba telepon ke rumah tanteku, deh. Siapa tahu memang dia pakai kereta yang lain. Pinjam HP ya, Fy Pulsa cekak, nih.”

Sambil memberengut, Ify menyerahkan ponselnya. Namun, tangannya tergantung di udara, karena tiba-tiba terdengar suara yang sangat ia kenal bergaung lewat speaker seantero stasiun.

“Panggilan untuk Alvin penumpang KA Parahyangan dari Jakarta, sekali lagi, saudara Alvin, sepupu dari Rio Stevadit, ditunggu oleh saudara Rio yang ciri-cirinya sebagai berikut: rambut cepak berjambul Tintin, tinggi 175 cm, kulit sawo matang, mata besar bulu mata lentik, pakai kaus Limpbizkit, ditemani oleh dua cewek cakep ....”

Ify dan Rio melongo. Keduanya menoleh ke belakang, melihat Via di bilik informasi sedang menguasai mikrofon. Tak lama seorang petugas datang tergopoh-gopoh untuk mengendalikan situasi. Seorang anak kurang ajar rupanya telah menjajah daerah kekuasaannya saat ia pergi sebentar ke kamar mandi barusan.

Tak hanya Ify dan Rio yang ikut menoleh, seorang pemuda yang berdiri tak jauh dari mereka pun ikut melongok. Dan kini orang itu yakin bahwa perempuan aneh yang kini tengah diusir petugas itu memang orang sama yang memanggil namanya tadi.

Sambil tertawa riang, Via menghampiri Ify dan Rio. “Ha-ha ... salah sendiri posnya ditinggal ....”

Dari arah lain, tampak satu sosok mendekati mereka bertiga.

Baru saja Alvin mau mengucap “permisi” untuk yang kedua kalinya, matanya tertumbuk pada wajah yang kali ini rasanya ia sungguhan kenal.

“Rio?” panggilnya setengah meragu.

“Alvin?” Rio membalas sama ragunya.

Keduanya tercenung memandangi satu sama lain. Dalam koridor memori masing-masing, ingatan mereka berkejaran menuju ke sembilan tahun lalu. Dalam ingatan Alvin, Rio adalah anak berbadan besar cenderung tambun, periang, bermata cantik seperti anak perempuan dengan bulu mata lebat dan lentik. Dalam ingatan Rio, Alvin adalah anak bule berambut kecokelatan, kurus dengan tungkai-tungkai panjang, bersorot mata teduh dan selalu tersenyum ramah, tapi jarang bicara. Dan sekarang Alvin menjulang tinggi dan tegap, rambutnya yang diikat tak lagi cokelat melainkan hitam pekat, tampak terjurai sedikit melewati pundak. Hanya sorot matanyalah yang tak berubah, yang sejak kecil membuat Alvin tampak lebih dewasa dari umurnya. Alvin pun tak akan mengenali sepupunya jika saja tidak menemukan kedua mata bundar yang dinaungi bulu-bulu lentik yang sejak dulu menjadi ciri khas Rio, yang membuatnya dulu dipanggil ‘‘Si Cowok Cantik’’. Sekarang sepupunya sudah tidak bulat lagi seperti bola, malah lebih mirip pelatih fitness.

Jarak sembilan tahun itu seketika melumer ketika keduanya berdekapan sambil tertawa bersama, menyadari bahwa sejak tadi mereka ternyata berdiri bersisian.

“Bener juga kata Tante Lena, lu udah makin kayak seniman sekarang!” seru Rio sambil menepuk bahu Alvin. “Kenalin, Vin. Ini cewek gua, Ify. Dan ini sahabatnya Ify…”

Hanya Via yang tampak menyimpan kepanikan saat berkenalan dengan Alvin. Wajahnya bersemburat merah saat ia mengulurkan tangan, “Hai. Via…”

Alvin tersenyum lebar menyambut tangan mungil dengan muka yang kini merunduk malu itu. Betulan seperti anak kucing. “Hai. Akhirnya kenalan juga.”

“Memangnya kalian udah ketemu?” komentar Rio melihat pemandangan ganjil itu. Via yang tahu-tahu melempem seperti kerupuk disiram air, sementara ekspresi Alvin seperti orang yang menangkap basah sesuatu.

“Belum!” keduanya menjawab kompak. Mereka berdua berpandangan lalu tertawa.

“Sudah!” ralat keduanya lagi, juga bersamaan. Dan mereka tertawa lagi.

“Gimana, sih?” Rio dan Ify mulai merasa ada konspirasi di balik ini semua.

“Mungkin kita sudah ketemu di kehidupan lampau ....” timpal Via cepat.

Yup. Dan dulu dia galak sekali.” Alvin ikut menambahkan, mantap.

Rio melengos melihat keduanya, malas mempermasalahkan apakah dua orang itu serius atau bercanda. “Dari dulu dia udah hancur gini belum dandanannya?” celetuknya sambil menunjuk Via.

“Oh, selalu!” Alvin nyengir.

Via ikut mengekeh, bangga. Percaya dirinya sudah kembali. Seketika ada keakraban yang juga mencairkan jarak dan waktu di antara mereka berempat, seolah mereka telah berkenalan jauh lebih lama dan bukannya barusan.

Tak lama kemudian, hujan kembali mengguyur Kota Bandung. Sebuah Fiat warna kuning terang tampak berusaha keras keluar dari parkiran stasiun. Ify di belakang kemudi, sementara ketiga temannya mendorong di belakang. Tubuh mungil Via diapit oleh kedua lelaki besar di kiri-kanan, tapi jelas suara lantangnya yang berfungsi sebagai mandor. Ia berteriak-teriak sekuat tenaga untuk membakar semangat, sampai akhirnya Fiat itu berhasil kembali melaju dengan tenaga mesin. Bukan manusia.

***



Dering telepon meraung-meraung di koridor kos-kosan itu sejak tadi, bersahutan dengan derap kaki yang berlari dan teriakan berulang-ulang: “Ngga usah diangkaaaaat! Itu buat sayaaa!”

Via menyambar kop telepon dan terengah menyapa, “Halo ....”

“Hai, Sayang.”

“Hai, Kka…”

“Kamu baru jogging? Tumben rajin.”

“Bukan. Baru dorong mobil.”

“Hah?”

“Hujan-hujanan lagi. Gede banget.”

“HAH? Kok bisa?”

“Biasa. Fuad lagi penyakitan, sementara Rio harus jemput sepupunya ke stasiun, yang dari Belanda itu lho, terus mereka butuh aku untuk dorong mobil kalau-kalau mogok. Eeeh ... dasar si Fuad, beneran mogok dia.”

“Gila ya si Rio! Ngga ada orang lain, apa? Masa kamu yang mereka andalkan? Di stasiun kan banyak kuli. Bayar kek buat dorong mobil, ngemodal dikit. Nanti kalau kamu flu gara-gara kehujanan, memangnya si Rio atau si Fuad bisa gantiin kamu kuliah?”

“Kka, nggak pa-pa, kok. Yang dorong beneran kan Eko sama sepupunya. Aku cuma nyumbang spirit sama acting ngedorong doang.”

“Tapi tetap hujan-hujanan, kan?”

“Iya, siiih ....”

“Nah, itu dia!” Dan banjiran kalimat berikutnya mengalir tanpa jeda.

Via menunggu sambil memanyunkan mulut dan memeras ujung-ujung kausnya yang basah. Ia memang tak akan pernah bisa menang jika beradu mulut dengan Cakka, pacarnya sejak dua tahun terakhir. Kendati begitu, Cakka pun seringkali mati kutu jika berhadapan dengan Via. Buktinya, dia harus merelakan namanya yang indah ‘‘dirusak’’ menjadi “Okka”, dan hanya Via satu-satunya di dunia yang berani melakukan itu.

Bagi Via, ungkapan opposite attract adalah yang paling sempurna untuk menggambarkan dinamikanya dengan Okka. Tak ada satu pun temannya yang percaya bahwa keduanya bisa jadian, begitu juga dengan teman-teman Okka. Keduanya bertolak belakang hampir dalam segala hal. Okka yang necis dan jago basket adalah pujaan banyak cewek di sekolah karena kegantengannya, mobilnya yang keren, dan sikapnya yang sesuai primbon Prince Charming. Membukakan pintu, membawakan seikat bunga, dan makan malam di restoran mewah bertemankan sinar lilin, adalah standar prosedur Okka. Di sisi yang berbeda, Via pun termasuk sosok populer di sekolah karena aktivitas dan pergaulannya yang luas. Tapi Via berasal dari kutub yang berbeda. Via dikenal dengan julukan Mother Alien. Ia dianggap duta besar dari semua makhluk aneh di sekolah. Semuanya tak habis pikir, bagaimana mungkin Prince Charming dan Mother Alien bisa bersatu?

Tidak juga Okka, atau Via, tahu jawabannya. Mungkin karena Via begitu berbeda dengan semua cewek yang pernah dipacarinya, Okka begitu terkesima melihat bagaimana Via begitu santai dan berani menjadi dirinya sendiri, sementara cewek-cewek lain sibuk mencari muka hanya supaya Okka mau mengajak mereka makan atau nonton barang sekali saja. Via sendiri tak pernah menganggap Okka serius mendekatinya karena menyadari betul perbedaan mencolok di antara mereka berdua. Via tak sadar, sikapnya justru membuat Okka semakin penasaran.

Via tak akan pernah lupa hari mereka jadian. Pada sore itu, hujan pun turun sama lebatnya. Dan Okka keburu menerima tantangan Via untuk bertandang ke rumahnya pakai kendaraan umum. Datanglah Okka di depan pintu, basah kuyup karena gengsi bawa payung, rambut rapinya layu ditimpa air hujan, dan seikat mawar putihnya berantakan tergencet punggung orang di Metro Mini. Dan kali itu, Via melihat Okka dengan pandangan lain, bukan lagi anak manja yang dipuja-puja satu sekolah, melainkan seseorang yang siap berkorban demi pilihan hatinya. Dan hati Via pun akhirnya memilih.

Hampir dua tahun mereka pacaran, dan mereka tetap dua manusia yang bertolak belakang. Di mata Via Okka yang perhatian dan cerewet kadang-kadang berfungsi sebagai penata hidupnya dan kaki-kaki yang membantunya menjejak bumi saat terlalu lama berada di dunia khayal. Di mata Okka, Via yang cuek dan seenaknya terkadang menjadi pengingat bagi dirinya untuk bersikap santai dan terbuka bagi segala kejutan dalam hidup.

Cukup banyak penyesuaian yang mereka pelajari selama dua tahun ini. Salah satu trik yang dipelajari Via kalau Okka sedang kambuh cerewetnya adalah menjauhkan sedikit gagang telepon lalu mencari kesibukan lain, dan kini ia masih asyik memeras ujung-ujung bajunya.

“Vi? Via? Denger nggak?”

Via tersadar dan buru-buru mendekatkan gagang telepon.

“Kenapa? Sori tadi kresek-kresek ....”

“Tadi aku bilang, lain kali kamu naik taksi aja ke mana-mana, jangan percaya deh sama si Fuad. Udah sering kamu dikerjain mobil satu itu.”

“Ogah, ah. Naik taksi mahal. Kalau dorong Fuad, udahannya malah suka dijajanin minum sama Rio.”

Okka menghela napas. Putus asa. “Ya udah. Terserah. Ganti baju gih, nanti masuk angin. Oh, ya, kapan dong kamu beli HP baru? Masa kalau mau telepon harus ke kosan terus. Kan enakan ngobrol di kamar.”

Ponsel Via, produk second keluaran empat tahun yang lalu, sudah tak berfungsi lagi layarnya. Selama ini ia terpaksa menggantungkan nasib pada feeling, dari mulai urusan memencet nomor sampai menerima telepon. Alhasil, Via kehabisan banyak pulsa karena salah sambung, dan tak berhasil menghindari telepon-telepon yang tak diinginkan karena tidak tahu siapa gerangan yang meneleponnya.

“Aku nabung dulu, ya, Kka. Aku lagi bikin cerpen, nih. Kali ini aku mau coba kirim ke majalah. Jadi ada penghasilan. Malu minta sama Bokap. Lagian kalo buat HP kayaknya nggak akan dikasih.”

“Kamu lagi bikin cerita apa?”

“Aku lagi bikin cerpen cinta gitu. Kalau dimuat, honornya cukupan beli HP baru.”

“Pasti dimuat. Kamu kan hebat. Ceweknya siapa dulu...”

“Oh, ya, aku juga lagi bikin dongeng tentang sayur-sayuran. Jadi gini, tokoh utamanya Pangeran Lobak dari kerajaan Umbi, lalu tokoh antagonisnya penyihir namanya Nyi Kunyit dari negeri Rempah ...”

Okka punya trik jika Via sedang berceloteh tentang dunia khayal yang tak ia mengerti, yakni menjauhkan gagang telepon sedikit dan mencari kesibukan lain. Okka mulai membuka-buka tumpukan majalah otomotif di hadapannya, sementara mulutnya sesekali membuka, “Oh, ya? Hmm. Oooh. Ya, ya. Hmm. Oh, ya? Hmm ....”

“Seru, kan? Hebat nggak ceritaku? Kka? Halo?”

Okka tersadar dan buru-buru mendekatkan gagang telepon. “Wow! Gila. Seru banget! Ya udah, kamu mandi, gih. Besok aku telepon lagi ya, Sayang. Bye!”

“Dah!” balas Via. Baru saja Via hendak bangkit berdiri, tahu-tahu selembar handuk telah dilemparkan ke pangkuannya.

“Diomelin sama Okka, ya?” tanya Ify yang sudah berdiri di depan Via.

“Yah, biasalah. Kayak nggak tahu aja. Dia kan jelmaan lu dalam bentuk laki-laki,” ujar Via sambil terkekeh.

“Nanti malam diajak makan sama Rio. Gabung, yuk.”

Via menelan ludah. “Pakai Fuad lagi?”

“Fuad tewas. Besok masuk bengkel dulu. Rencananya Rio dan Alvin mampir ke sini pakai angkot, nanti kita jalan kaki aja cari yang dekat-dekat, atau pesan makanan lewat telepon.”

“Terima kasih ya, Tuhan! Makan gratis! Ngga pakai dorong!” Via melonjak girang dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

#bersambung

0 komentar:

Posting Komentar


up