Perahu Kertas (03) Mother Alien

Mother Alien

Ify dan Rio, yang mulai putus asa menunggu di tempat sama, akhirnya berjalan ke teras depan stasiun. Suasana mulai lengang, tinggal segelintir orang yang tersisa.

“Aku coba telepon ke rumah tanteku, deh. Siapa tahu memang dia pakai kereta yang lain. Pinjam HP ya, Fy Pulsa cekak, nih.”

Sambil memberengut, Ify menyerahkan ponselnya. Namun, tangannya tergantung di udara, karena tiba-tiba terdengar suara yang sangat ia kenal bergaung lewat speaker seantero stasiun.

“Panggilan untuk Alvin penumpang KA Parahyangan dari Jakarta, sekali lagi, saudara Alvin, sepupu dari Rio Stevadit, ditunggu oleh saudara Rio yang ciri-cirinya sebagai berikut: rambut cepak berjambul Tintin, tinggi 175 cm, kulit sawo matang, mata besar bulu mata lentik, pakai kaus Limpbizkit, ditemani oleh dua cewek cakep ....”

Ify dan Rio melongo. Keduanya menoleh ke belakang, melihat Via di bilik informasi sedang menguasai mikrofon. Tak lama seorang petugas datang tergopoh-gopoh untuk mengendalikan situasi. Seorang anak kurang ajar rupanya telah menjajah daerah kekuasaannya saat ia pergi sebentar ke kamar mandi barusan.

Tak hanya Ify dan Rio yang ikut menoleh, seorang pemuda yang berdiri tak jauh dari mereka pun ikut melongok. Dan kini orang itu yakin bahwa perempuan aneh yang kini tengah diusir petugas itu memang orang sama yang memanggil namanya tadi.

Sambil tertawa riang, Via menghampiri Ify dan Rio. “Ha-ha ... salah sendiri posnya ditinggal ....”

Dari arah lain, tampak satu sosok mendekati mereka bertiga.

Baru saja Alvin mau mengucap “permisi” untuk yang kedua kalinya, matanya tertumbuk pada wajah yang kali ini rasanya ia sungguhan kenal.

“Rio?” panggilnya setengah meragu.

“Alvin?” Rio membalas sama ragunya.

Keduanya tercenung memandangi satu sama lain. Dalam koridor memori masing-masing, ingatan mereka berkejaran menuju ke sembilan tahun lalu. Dalam ingatan Alvin, Rio adalah anak berbadan besar cenderung tambun, periang, bermata cantik seperti anak perempuan dengan bulu mata lebat dan lentik. Dalam ingatan Rio, Alvin adalah anak bule berambut kecokelatan, kurus dengan tungkai-tungkai panjang, bersorot mata teduh dan selalu tersenyum ramah, tapi jarang bicara. Dan sekarang Alvin menjulang tinggi dan tegap, rambutnya yang diikat tak lagi cokelat melainkan hitam pekat, tampak terjurai sedikit melewati pundak. Hanya sorot matanyalah yang tak berubah, yang sejak kecil membuat Alvin tampak lebih dewasa dari umurnya. Alvin pun tak akan mengenali sepupunya jika saja tidak menemukan kedua mata bundar yang dinaungi bulu-bulu lentik yang sejak dulu menjadi ciri khas Rio, yang membuatnya dulu dipanggil ‘‘Si Cowok Cantik’’. Sekarang sepupunya sudah tidak bulat lagi seperti bola, malah lebih mirip pelatih fitness.

Jarak sembilan tahun itu seketika melumer ketika keduanya berdekapan sambil tertawa bersama, menyadari bahwa sejak tadi mereka ternyata berdiri bersisian.

“Bener juga kata Tante Lena, lu udah makin kayak seniman sekarang!” seru Rio sambil menepuk bahu Alvin. “Kenalin, Vin. Ini cewek gua, Ify. Dan ini sahabatnya Ify…”

Hanya Via yang tampak menyimpan kepanikan saat berkenalan dengan Alvin. Wajahnya bersemburat merah saat ia mengulurkan tangan, “Hai. Via…”

Alvin tersenyum lebar menyambut tangan mungil dengan muka yang kini merunduk malu itu. Betulan seperti anak kucing. “Hai. Akhirnya kenalan juga.”

“Memangnya kalian udah ketemu?” komentar Rio melihat pemandangan ganjil itu. Via yang tahu-tahu melempem seperti kerupuk disiram air, sementara ekspresi Alvin seperti orang yang menangkap basah sesuatu.

“Belum!” keduanya menjawab kompak. Mereka berdua berpandangan lalu tertawa.

“Sudah!” ralat keduanya lagi, juga bersamaan. Dan mereka tertawa lagi.

“Gimana, sih?” Rio dan Ify mulai merasa ada konspirasi di balik ini semua.

“Mungkin kita sudah ketemu di kehidupan lampau ....” timpal Via cepat.

Yup. Dan dulu dia galak sekali.” Alvin ikut menambahkan, mantap.

Rio melengos melihat keduanya, malas mempermasalahkan apakah dua orang itu serius atau bercanda. “Dari dulu dia udah hancur gini belum dandanannya?” celetuknya sambil menunjuk Via.

“Oh, selalu!” Alvin nyengir.

Via ikut mengekeh, bangga. Percaya dirinya sudah kembali. Seketika ada keakraban yang juga mencairkan jarak dan waktu di antara mereka berempat, seolah mereka telah berkenalan jauh lebih lama dan bukannya barusan.

Tak lama kemudian, hujan kembali mengguyur Kota Bandung. Sebuah Fiat warna kuning terang tampak berusaha keras keluar dari parkiran stasiun. Ify di belakang kemudi, sementara ketiga temannya mendorong di belakang. Tubuh mungil Via diapit oleh kedua lelaki besar di kiri-kanan, tapi jelas suara lantangnya yang berfungsi sebagai mandor. Ia berteriak-teriak sekuat tenaga untuk membakar semangat, sampai akhirnya Fiat itu berhasil kembali melaju dengan tenaga mesin. Bukan manusia.

***



Dering telepon meraung-meraung di koridor kos-kosan itu sejak tadi, bersahutan dengan derap kaki yang berlari dan teriakan berulang-ulang: “Ngga usah diangkaaaaat! Itu buat sayaaa!”

Via menyambar kop telepon dan terengah menyapa, “Halo ....”

“Hai, Sayang.”

“Hai, Kka…”

“Kamu baru jogging? Tumben rajin.”

“Bukan. Baru dorong mobil.”

“Hah?”

“Hujan-hujanan lagi. Gede banget.”

“HAH? Kok bisa?”

“Biasa. Fuad lagi penyakitan, sementara Rio harus jemput sepupunya ke stasiun, yang dari Belanda itu lho, terus mereka butuh aku untuk dorong mobil kalau-kalau mogok. Eeeh ... dasar si Fuad, beneran mogok dia.”

“Gila ya si Rio! Ngga ada orang lain, apa? Masa kamu yang mereka andalkan? Di stasiun kan banyak kuli. Bayar kek buat dorong mobil, ngemodal dikit. Nanti kalau kamu flu gara-gara kehujanan, memangnya si Rio atau si Fuad bisa gantiin kamu kuliah?”

“Kka, nggak pa-pa, kok. Yang dorong beneran kan Eko sama sepupunya. Aku cuma nyumbang spirit sama acting ngedorong doang.”

“Tapi tetap hujan-hujanan, kan?”

“Iya, siiih ....”

“Nah, itu dia!” Dan banjiran kalimat berikutnya mengalir tanpa jeda.

Via menunggu sambil memanyunkan mulut dan memeras ujung-ujung kausnya yang basah. Ia memang tak akan pernah bisa menang jika beradu mulut dengan Cakka, pacarnya sejak dua tahun terakhir. Kendati begitu, Cakka pun seringkali mati kutu jika berhadapan dengan Via. Buktinya, dia harus merelakan namanya yang indah ‘‘dirusak’’ menjadi “Okka”, dan hanya Via satu-satunya di dunia yang berani melakukan itu.

Bagi Via, ungkapan opposite attract adalah yang paling sempurna untuk menggambarkan dinamikanya dengan Okka. Tak ada satu pun temannya yang percaya bahwa keduanya bisa jadian, begitu juga dengan teman-teman Okka. Keduanya bertolak belakang hampir dalam segala hal. Okka yang necis dan jago basket adalah pujaan banyak cewek di sekolah karena kegantengannya, mobilnya yang keren, dan sikapnya yang sesuai primbon Prince Charming. Membukakan pintu, membawakan seikat bunga, dan makan malam di restoran mewah bertemankan sinar lilin, adalah standar prosedur Okka. Di sisi yang berbeda, Via pun termasuk sosok populer di sekolah karena aktivitas dan pergaulannya yang luas. Tapi Via berasal dari kutub yang berbeda. Via dikenal dengan julukan Mother Alien. Ia dianggap duta besar dari semua makhluk aneh di sekolah. Semuanya tak habis pikir, bagaimana mungkin Prince Charming dan Mother Alien bisa bersatu?

Tidak juga Okka, atau Via, tahu jawabannya. Mungkin karena Via begitu berbeda dengan semua cewek yang pernah dipacarinya, Okka begitu terkesima melihat bagaimana Via begitu santai dan berani menjadi dirinya sendiri, sementara cewek-cewek lain sibuk mencari muka hanya supaya Okka mau mengajak mereka makan atau nonton barang sekali saja. Via sendiri tak pernah menganggap Okka serius mendekatinya karena menyadari betul perbedaan mencolok di antara mereka berdua. Via tak sadar, sikapnya justru membuat Okka semakin penasaran.

Via tak akan pernah lupa hari mereka jadian. Pada sore itu, hujan pun turun sama lebatnya. Dan Okka keburu menerima tantangan Via untuk bertandang ke rumahnya pakai kendaraan umum. Datanglah Okka di depan pintu, basah kuyup karena gengsi bawa payung, rambut rapinya layu ditimpa air hujan, dan seikat mawar putihnya berantakan tergencet punggung orang di Metro Mini. Dan kali itu, Via melihat Okka dengan pandangan lain, bukan lagi anak manja yang dipuja-puja satu sekolah, melainkan seseorang yang siap berkorban demi pilihan hatinya. Dan hati Via pun akhirnya memilih.

Hampir dua tahun mereka pacaran, dan mereka tetap dua manusia yang bertolak belakang. Di mata Via Okka yang perhatian dan cerewet kadang-kadang berfungsi sebagai penata hidupnya dan kaki-kaki yang membantunya menjejak bumi saat terlalu lama berada di dunia khayal. Di mata Okka, Via yang cuek dan seenaknya terkadang menjadi pengingat bagi dirinya untuk bersikap santai dan terbuka bagi segala kejutan dalam hidup.

Cukup banyak penyesuaian yang mereka pelajari selama dua tahun ini. Salah satu trik yang dipelajari Via kalau Okka sedang kambuh cerewetnya adalah menjauhkan sedikit gagang telepon lalu mencari kesibukan lain, dan kini ia masih asyik memeras ujung-ujung bajunya.

“Vi? Via? Denger nggak?”

Via tersadar dan buru-buru mendekatkan gagang telepon.

“Kenapa? Sori tadi kresek-kresek ....”

“Tadi aku bilang, lain kali kamu naik taksi aja ke mana-mana, jangan percaya deh sama si Fuad. Udah sering kamu dikerjain mobil satu itu.”

“Ogah, ah. Naik taksi mahal. Kalau dorong Fuad, udahannya malah suka dijajanin minum sama Rio.”

Okka menghela napas. Putus asa. “Ya udah. Terserah. Ganti baju gih, nanti masuk angin. Oh, ya, kapan dong kamu beli HP baru? Masa kalau mau telepon harus ke kosan terus. Kan enakan ngobrol di kamar.”

Ponsel Via, produk second keluaran empat tahun yang lalu, sudah tak berfungsi lagi layarnya. Selama ini ia terpaksa menggantungkan nasib pada feeling, dari mulai urusan memencet nomor sampai menerima telepon. Alhasil, Via kehabisan banyak pulsa karena salah sambung, dan tak berhasil menghindari telepon-telepon yang tak diinginkan karena tidak tahu siapa gerangan yang meneleponnya.

“Aku nabung dulu, ya, Kka. Aku lagi bikin cerpen, nih. Kali ini aku mau coba kirim ke majalah. Jadi ada penghasilan. Malu minta sama Bokap. Lagian kalo buat HP kayaknya nggak akan dikasih.”

“Kamu lagi bikin cerita apa?”

“Aku lagi bikin cerpen cinta gitu. Kalau dimuat, honornya cukupan beli HP baru.”

“Pasti dimuat. Kamu kan hebat. Ceweknya siapa dulu...”

“Oh, ya, aku juga lagi bikin dongeng tentang sayur-sayuran. Jadi gini, tokoh utamanya Pangeran Lobak dari kerajaan Umbi, lalu tokoh antagonisnya penyihir namanya Nyi Kunyit dari negeri Rempah ...”

Okka punya trik jika Via sedang berceloteh tentang dunia khayal yang tak ia mengerti, yakni menjauhkan gagang telepon sedikit dan mencari kesibukan lain. Okka mulai membuka-buka tumpukan majalah otomotif di hadapannya, sementara mulutnya sesekali membuka, “Oh, ya? Hmm. Oooh. Ya, ya. Hmm. Oh, ya? Hmm ....”

“Seru, kan? Hebat nggak ceritaku? Kka? Halo?”

Okka tersadar dan buru-buru mendekatkan gagang telepon. “Wow! Gila. Seru banget! Ya udah, kamu mandi, gih. Besok aku telepon lagi ya, Sayang. Bye!”

“Dah!” balas Via. Baru saja Via hendak bangkit berdiri, tahu-tahu selembar handuk telah dilemparkan ke pangkuannya.

“Diomelin sama Okka, ya?” tanya Ify yang sudah berdiri di depan Via.

“Yah, biasalah. Kayak nggak tahu aja. Dia kan jelmaan lu dalam bentuk laki-laki,” ujar Via sambil terkekeh.

“Nanti malam diajak makan sama Rio. Gabung, yuk.”

Via menelan ludah. “Pakai Fuad lagi?”

“Fuad tewas. Besok masuk bengkel dulu. Rencananya Rio dan Alvin mampir ke sini pakai angkot, nanti kita jalan kaki aja cari yang dekat-dekat, atau pesan makanan lewat telepon.”

“Terima kasih ya, Tuhan! Makan gratis! Ngga pakai dorong!” Via melonjak girang dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

#bersambung

Perahu Kertas (02) Pindah Ke Bandung

Pindah Ke Bandung

Jakarta, Agustus 1999 ...

“Alvin mana, Ma?” tanya pria itu dengan gelisah. Badannya, yang tinggi dan masih tegap untuk umurnya yang memasuki kepala lima, hanya berbalutkan kaus putih polos dan celana olahraga. Langkah-langkah beratnya hilir mudik sedari tadi.

“Palingan juga masih tidur,” jawab istrinya santai. Konsentrasinya lebih terpusat pada dua gelas berisi kopi susu panas yang sedang ia aduk.

“Gimana, sih. Kok kayaknya kita yang lebih antusias menunggu pengumuman UMPTN daripada pesertanya sendiri,” dumel suaminya.

“Eh, itu, korannya datang!” seru istrinya ketika ia mendengar gesekan kertas koran di depan pintu.

Seperti balap lari, mereka buru-buru ke pintu depan dan langsung membuka halaman tengah koran yang padat dengan barisan nama-nama.

“Ini namanya! Dia masuk!” istrinya berseru dengan suara tercekat sambil menunjuk satu nama.

Antara percaya dan tidak, pria itu pun meyakinkan dirinya berkali-kali, bahwa memang cuma ada satu nama seperti itu: K A L V I N. Tercetak jelas.

“Kita bangunkan saja dia,” ujarnya tidak sabar.

“Ah, nggak usah. Biar dia tidur sepuas-puasnya. Kasihan Alvin, dari kemarin begadang terus,” istrinya menyergah dengan senyum mengembang, “toh hari ini dia sudah membuat kita semua lega.”

Padahal Alvin sudah tahu apa yang terjadi. Tidak mungkin menutup telinga dari suara apa pun di rumah mungil ini. Sambil meringkuk dan memeluk lutut, Alvin menerawang di atas tempat tidur, bertanya-tanya pada dirinya sendiri: apakah ia salah karena tidak merasakan kebahagiaan yang sama? Apakah ia puas atas kesuksesannya menyenangkan orang lain? Dan apakah ia cukup berduka atas pengkhianatannya pada diri sendiri?

Di depan kanvas, mata Alvin terpaku. Mendapatkan lembar kosong itu sebagai jawaban pertanyaan hatinya.

***



Dua belokan dari rumah Via, ada sebuah kali. Meski berair cokelat, arus kali itu mengalir lancar dan tidak mampat seperti kebanyakan kali di Kota Jakarta. Via menyadari sesuatu ketika baru pindah ke Jakarta, di mana pun ia tinggal, ia selalu menemukan air mengalir dekat rumahnya. Seolah-olah ada yang menginginkan agar kebiasaannya yang satu itu terus berjalan.

Via ingat betul bagaimana sejarah kebiasaan itu bermula. Waktu itu keluarganya masih tinggal di Ujungpandang. Rumah mereka yang berseberangan dengan laut membuat Via kecil banyak menghabiskan hari-harinya di pantai. Adalah Kiki, abangnya yang paling besar, yang pertama kali memberi tahu bahwa zodiak Via adalah Aquarius. Simbolnya air. Via kecil lalu berkhayal dirinya adalah anak buah Dewa Neptunus yang diutus untuk tinggal di daratan. Seperti mata-mata yang rutin melapor ke markas besar, Via percaya bahwa ia harus menulis surat untuk Neptunus dan melaporkan apa saja yang terjadi dalam hidupnya.

Ia mengirim suratnya yang pertama saat mulai bisa menulis sendiri. Via melipat surat itu menjadi perahu lalu dihanyutkan ke laut. Hampir setiap sore Via selalu mampir ke pantai, mengirimkan surat-surat berisi cerita atau gambar untuk Neptunus.

Via protes keras saat keluarga mereka harus pindah kota, yang artinya tak ada pantai lagi dekat rumah. Ia ngambek berkepanjangan sampai akhirnya Kiki menjelaskan bahwa selama ada aliran air, di mana pun itu, Via tetap bisa mengirim surat ke Neptunus. Semua aliran air akan menuju ke laut, begitu kata Kiki sambil menyusutkan linangan air mata di pipi Via.

“Air sungai bakal sampai ke laut?”

Kiki mengangguk.

“Air empang bakal sampai ke laut?”

Kiki mengangguk lagi.

“Air selokan bakal sampai ke laut?”

Kiki masih mengangguk.

Barulah Via teryakinkan. Kendati bukan lagi dekat laut, rumah mereka yang berpindah-pindah selalu dekat sesuatu yang mampu meyakinkan Via bahwa surat-suratnya tetap sampai pada Neptunus. Termasuk rumah mereka yang dekat kali di Jakarta.

Namun, kebiasaan itu mengendur seiring waktu. Via yang beranjak besar pun sadar bahwa besar kemungkinan Dewa Neptunus itu tidak ada, bahwa surat-suratnya sampai ke laut sudah dalam bentuk serpihan mikron yang tak lagi bermakna, atau bahkan tidak sampai sama sekali. Namun, Via juga tidak bisa menjelaskan bagaimana di lubuk hatinya ia masih ingin percaya. Ia tidak bisa menjelaskan bagaimana batinnya dibuat damai dengan menyaksikan perahu-perahu kertas itu hanyut terbawa air.

Pagi itu ia berdiri di tepi kali. Hiruk-pikuk kerumunan anak kampung dari pelosok gang berdengung di telinganya. Namun, Via tak terganggu. Matanya tak lepas mengamati aliran air cokelat di bawah kakinya. Perlahan, ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana. Sebuah perahu kertas. Via tidak ingat kapan terakhir ia menghanyutkan perahu di sana. Terlalu lama ia lupa tugasnya sebagai mata-mata dunia air. Entah kenapa, kepergiannya kali ini menggerakkan ia kembali menulis. Sebuah surat pendek berisi sebaris kalimat:

Nus,
Saya pindah ke Bandung. I’ll find my stream. 
Sampai ketemu.

Berbarengan dengan batu, kail, daun, dan segala yang dicemplungkan tangan-tangan kecil di sebelahnya, sebuah perahu kertas melaju tak terganggu.

***



Seorang anak SMP berambut gondrong tampak berlari dan bergegas memasuki pagar rumahnya yang terbuat dari kayu bercat putih. Garis-garis mukanya yang tegas dan runcing dikombinasikan dengan kulit putih tapi gosong kemerahan akibat terpaan sinar matahari membuatnya persis seperti turis peselancar di pinggir Pantai Kuta. Rumah asri yang terletak di daerah hijau di Jakarta Timur itu tampak lengang. Anak lak-laki itu melihat sekeliling dengan khawatir. Napasnya baru melega ketika mobil orangtuanya ternyata masih terparkir di dalam garasi. Langkahnya pun meringan saat ia membuka pintu.

“Ma! Alvin belum berangkat, kan?” tanyanya seketika, memastikan.

Ibunya tersenyum dan menggeleng. “Belum. Tapi kamu harus mandi dulu baru bisa ikut antar abangmu ke stasiun.”
Alvin melangkah keluar dari kamarnya dan nyengir melihat adiknya yang dekil bermandikan keringat. “Tapi jelek-jelek gitu, Ray banyak yang naksir, Ma.”

Muka Ray bersemu merah. Pikirannya melayang pada surat-surat dan foto-foto yang sering diselipkan di tasnya oleh cewek-cewek di sekolah, dan ia menebak-nebak mana yang kira-kira ditemukan oleh abangnya.

“Untung kamu tidak di sini, Vin. Mama sudah kayak resepsionis pribadi ngangkatin telepon buat dia,” celetuk ibunya lagi. Diam-diam ia mengamati kedua anak laki-lakinya yang terpaut jarak umur enam tahun, dan menyadari betapa berbeda keduanya. Ray yang ekstrover, atletis, diplomatis, senang bergaul dan berorganisasi, adalah cetak biru ayahnya. Sementara Alvin yang introver, halus, tidak menyukai keramaian, dan lebih senang menyendiri untuk melukis, adalah cetak biru dirinya. Namun, Alvin dan Ray saling menjaga dan mengagumi seperti magnet yang lekat erat. Bagi Ray, Alvin adalah idolanya nomor satu. Dan Alvin menyayangi Ray lebih dari apa pun. Ray seperti orang patah hati ketika Alvin harus pergi ke Amsterdam, dan kini ia harus melepas abangnya lagi untuk bersekolah di Bandung.

“Ma, aku bolos sehari, deh. Aku juga mau ke Bandung. Ketemu Mas Rio,” rengek Ray. Permohonannya sudah ditolak mentah oleh ayahnya, dan kini ia mencoba celah lain, yakni lewat ibunya.

Sayang, ibunya tetap menggeleng. “Nggak bisa, Ray. Kamu harus sekolah.”

“Mama yakin saya dijemput Rio?” tanya Alvin.

“Ya iyalah. Mama sudah telepon langsung ke Rio. Memangnya kenapa?”

“Saya nggak ingat mukanya, dia juga pasti sama. Kami terakhir ketemu kan  waktu SD!”

Ray langsung menyambar senang, “Nah, itu dia, Ma! Kalau aku ikut, aku nanti bisa kasih tahu Mas Rio yang mana.”

Ibu mereka tersenyum melihat usaha keduanya. Rio adalah sepupu Alvin yang sejak SMA bersekolah di Bandung dan kini mereka akan berkuliah di kampus yang sama. Semasa keduanya masih SD, sebelum Alvin berangkat ke Amsterdam, Alvin dan Rio bersahabat karib. Baru sekarang lagi mereka akan bertemu setelah terpisah sekian lama.

“Alasan kamu memang masuk akal, Vin. Tapi Rio sudah Mama pesankan untuk bawa tulisan nama kamu. Jadi, biarpun kalian tidak hafal muka, kalian pasti akan bertemu,” jawab ibunya sambil mengerling ke arah Ray.

Terdengar suara pintu kamar membuka, dan melangkahlah keluar ayahnya yang masih berkemeja dan dasi lengkap. Ia pun telah minta izin dari kantornya demi melepas Keenan ke Bandung.

“Semua barang kamu sudah siap, Vin?” tanyanya sambil meraih kunci mobil dari meja.

“Sudah, Pa.” Alvin berdiri di samping satu travel bag.

“Itu saja?”

“Sisanya dipaket ke Bandung,” timpal ibunya. Dan ujung matanya menunjuk ke sudut yang penuh sesak oleh tumpukan dus berisi alat lukis.

Ayahnya menghela napas. Riak pada air mukanya tidak bisa disembunyikan, dan Alvin melihatnya dengan jelas.

Ada suasana mendung yang seketika menggantung di ruangan itu. Satu demi satu pun melanjutkan kegiatannya masing-masing tanpa suara.

***



Bandung, Agustus 1999 ...

Tidak ada yang lebih dahsyat daripada gabungan gerimis hujan di luar dan selimut hangat di dalam kamar. Demikian prinsip Via Meringkuk di tempat tidur sepanjang sore sambil bermimpi indah adalah misinya sore itu. Sayangnya, ia lupa mengunci pintu.

Cahaya dari luar seketika menerangi kamarnya yang temaram. Langkah tergesa dan suara bernada tinggi mengacaukan suasana hening yang membungkus Via seperti kepompong.

“Vi! Bangun! Pergi, yuk!”

Selimut yang tampak menggunduk itu tak bergerak.

“Vi, Rio udah di depan. Si Fuad nggak bisa dimatiin, entar mogok. Yuk, cepetaaan!”

Via menyahut dengan gumaman tak jelas.

Ify terpaksa mengambil tindakan lebih ekstrem. Dengan gesit ia menyingkap selimut dan memercik-mercikkan air dari gelas di sebelah tempat tidur.

Via menghindar, gelagapan. “Penyerangaaan! Invasi ruang privaaat!”

“Nggak usah berlagak, deh. Ayo, bangun.”

Via terduduk dengan paksa, mata terpejam sebelah dan rambut semrawut. “Fy, berhubung kamar kita bakal sebelahan setidaknya dalam empat tahun ke depan, gua jelaskan satu aturan yang sangat penting, oke. Tidur siang adalah momen sakral buat gua. Bonus hujan, lagi! Harusnya lu masuk ke sini pun jalannya pake lutut dan sungkem dulu kekaki tempat tidur ....”

“Kita jemput sepupunya Rio ke stasiun, yuk. Jam lima keretanya nyampe. Lu mau pakai baju yang mana? Biar gua siapin,” Ify seperti tak mendengar khotbah penting Via.

Kedua mata Via terbuka. “Bentar ... bentar. Kenapa kok gua harus ikut? Itu kan sepupu si Rio, lu yang pacarnya si Rio, kenapa gua harus dilibatkan segala?” Via berseru putus asa.

“Soalnya ... Si Fuad ngadat lagi. Kalo mogok harus ada yang dorong. Untuk dorong kita butuh tenaga.”

Via menganga tak percaya, “Jadi ... gua dibangunin dari tidur suci gua untuk jadi cadangan tenaga ngedorong si Fuad?”

“Ya iyalah. Buat apa lagi?”

“Ngga sopan, bener-bener ngga sopan! Gua cuma dianggap kuli dorong mobil ...,” sambil menggerutu Via bangun.

“Mau pakai baju yang mana?”

“Yang ini!” Via menunjuk pakaian yang menempel di tubuhnya. Celana batik selutut yang sudah mengusam, dan kaus kegedean bertuliskan “Lake Toba” yang sudah tipis dan lentur seperti lap dapur.

“Yah, jangan gitu-gitu amat, dong, Vi. Lu ngambek, ya?”

“Oh, nggak. Gua cuma berdandan sesuai kasta gua aja. Kuli dorong mobil. Ayo cabut!” sahut Via seraya menyambar jaket jins di gantungan.

Ify memandang temannya dengan khawatir. Rambut sebahu Viasebagian naik ke atas seperti disasak setengah jadi. Bajunya mendekati compang-camping. Jaket jins kegombrongan milik Kiki yang digondol Via detik-detik terakhir sebelum dia berangkat ke Bandung itu pun tentu tidak membantu. Belum lagi, jam tangan plastik Kura-kura Ninja yang nyaris tak pernah lepas dari pergelangan tangannya. Lalu sandal khusus kamar mandi dari bahan plastic berwarna pink elektrik seolah menyempurnakan “keajaiban’’ penampilan Via sore itu.

Namun, Via berjalan mantap keluar menantang dunia, disambut Rio yang kontan meringkuk-ringkuk tertawa melihat pemandangan nyentrik itu.

“Vi! Lu kaya gembel baru gila! Keren!” teriak Rio sembari merogoh-rogoh ransel mencari kamera. “Siap ... satu, dua, tiga, pose!”

Dengan cepat Via langsung membengkungkan kedua lengannya seperti atlet binaraga.

“Sip. Gua cetak 5R, nanti gua pajang di mading kampus.” Rio tersenyum puas.

“10R lah, Yo. Standar majalah, dong.”

“Orang gila lu layanin, ya makin senanglah dia. Lihat tuh, mukanya hepi gitu ....” Ify menunjuk Via yang sedang mematut-matut diri di spion mobil Rio, mulai menyadari betapa aneh dandanannya, dan mulai tertawa-tawa bahagia tanda menikmati.

Melihat itu, Rio juga mulai khawatir. “Lu tahu betapa gua menghargai setiap liter bensin, kan, Vi? Dan gua nggak bisa matiin mesin mobil karena takut mogok. Tapi gua akan merelakan lima menit buat lu untuk ganti baju. Kalau lu mau,” kata Rio penuh penekanan. Dia sebetulnya sudah bisa menduga pilihan Via.

“Daripada bensin lima menit lu habiskan buat tunggu gua ganti baju, mendingan lu konversi jadi duit terus beliin gua minum. Jadi kuli gampang haus! Yuk!”

Jawaban tegas Via menuntaskan kontroversi sore itu, dan meluncurlah Fiat 124S kuning itu memecah air di atas jalanan Kota Bandung yang basah.

***



Lautan penumpang kereta api telah melewati tiga sekawan itu sejak sepuluh menit yang lalu, tapi mereka belum juga menemukan objek jemputannya. Ify dan Via sudah mulai resah.

“Lu yakin dia pakai kereta jam lima? Kok nggak muncul-muncul?” tanya Via pada Rio yang celingak-celinguk tiada henti.

“Gua yakin dia pakai kereta yang ini. Masalahnya, gua nggak tahu mukanya.”

“HAH?” teriak Via dan Ify hampir berbarengan.

“Kok kamu nggak bawa tulisan atau apa, kek?” cecar Ify.

Rio nyengir masam. “He-he, ketinggalan, Fy.”

“Ampun, deh! Kalau bilang dari tadi kan aku bisa cari kertas sama pulpen!” omel Ify.

“Tenang ... muka sepupuku tuh unik, kok ... pokoknya gimana, ya ... hmm ....”

“Kapan kalian terakhir ketemu?” tanya Via.

“Waktu SD,” Rio menjawab setengah menggumam.

Via dan Ify langsung berpandang-pandangan. Ify memutuskan untuk lanjut mengomel, sementara Via bergegas ke arah muka stasiun.

Dari jauh, Via membalikkan badan. “YO! Siapa nama sepupu lu?”

“Alvin!”

“ALVIN?”

Bersamaan dengan itu muncul serombongan orang yang menghalangi pandangan keduanya. Via berharap ia tak salah mendengar. “Alvin … Alvin … ,” ulangnya sendirian sambil terus berjalan.

Tak jauh dari sana, seseorang merasa namanya dipanggil. Alvin merasa sumbernya adalah perempuan yang sedang bergerak ke arahnya. Alvin mengamati dengan saksama. Ia yakin belum pernah berkenalan dengan cewek satu itu seumur hidupnya. Tepatnya, ia belum pernah menemukan orang dengan penampilan seaneh itu.

Ragu, Alvin mendekati, menjajarkan langkahnya dengan kaki kecil yang melangkah besar-besar dan terburu-buru. “Permisi ....”

Via berhenti, tertegun menatap orang yang tahu-tahu muncul di sampingnya dan kini mengadang persis di hadapan.

Alvin mengamati sekali lagi. Perempuan mungil setinggi dagunya, kelihatan seperti anak SMP, gaya berbusana tidak ada juntrungnya, rambut seperti orang baru kesetrum, kedua mata membelalak seperti mengancam. Mendadak Alvin menyesal telah memanggil.

“Ada apa, ya?” tanya Via dengan suara dibesar-besarkan. Berusaha sangar.

Setengah mati Alvin menahan senyum gelinya yang spontan ingin membersit. Ternyata ia berhadapan dengan anak kucing yang berusaha jadi singa.

“Nggak pa-pa. Saya salah mengenali orang. Saya pikir tadinya kamu ... emm ... maaf, ya.” Alvin mulai bingung menjelaskan, dan akhirnya hanya tersenyum lebar lalu ambil langkah seribu. Namun, dalam hati ia tahu, ia tidak akan pernah melupakan wajah itu.

Via pun hanya mengangguk kecil, lalu berjalan lagi ke arah bilik informasi yang menjadi tujuannya. Napasnya baru lepas setelah ia yakin orang itu sudah hilang jauh di balik punggungnya. Sejujurnya, ia tidak keberatan salah dikenali. Laki-laki tadi adalah makhluk tertampan yang pernah ia temui sejak tokoh Therrius dalam komik Candy-Candy. Namun, harus selalu waspada dengan semua makhluk sok akrab, tegas Via dalam hati. Lebih baik konsentrasi mencari sepupu Rio nan malang, ia pun memotivasi diri. Berusaha melupakan apa yang baru ia lihat.

#bersambung

up